Background

#3 -- Membantah Argumen Mengenai Vaksin Pertusis



"1. Vaksin pertusis lebih kepada mengubah durasi dan tingkat keparahan penyakit daripada mencegahnya. (link kedua)"

Betul sekali, oleh karena itulah anak-anak kita memerlukan vaksin pertusis: karena tujuan utama vaksinasi pertusis saat ini memang untuk mengubah durasi & keparahan dari infeksi Bordetella pertussis. 

Perlu diketahui bahwa pertusis klasik (yang umumnya terjadi mengikuti infeksi primer Bordetella pertussis pada anak yang tidak diimunisasi) dapat berlangsung 6-12 minggu atau lebih, dan memiliki komplikasi otitis media, ulserasi atau laserasi lidah, epistaxis, melena, perdarahan subkonjungtiva, hematom subdural, spinal, atau epidural, hernia umbilikal atau inguinal, prolaps rektum, patah tulang iga, alkalosis (dgn kejang tetanik yang mengikuti kemudian), dehidrasi, emfisema, ruptur alveoli, ruptur diafragma, pneumonia, kejang, ensefalopati, perdarahan subarachnoid dan intraventrikular, apnea, dan berujung pada kematian. Banyak dan ngeri sekali ya, bayangkan bila ini terjadi pada bayi anda. Info tersebut dapat anda baca sendiri di:

Cherry, J. D. 1999. Pertussis in the preantibiotic and prevaccine era, with emphasis on adult pertussis. Clin. Infect. Dis. 28(Suppl. 2):S107-S111
Cherry, J. D., P. A. Brunell, G. S. Golden, and D. T. Karson. 1988. Report of the task force on pertussis and pertussis immunization—1988. Pediatrics 81:939
Cherry, J. D., and U. Heininger. 2004. Pertussis and other Bordetella infections, p. 1588-1608. Dalam R. D. Feigin, J. D. Cherry, G. J. Demmler, and S. Kaplan (ed.), Textbook of pediatric infectious diseases, 5th ed. The W. B. Saunders Co, Philadelphia, Pa.
Christie, A. B. 1980. Infectious diseases: epidemiology and clinical practice, 3rd ed. p. 659. Churchill-Livingstone, London, United Kingdom.

Sementara pada anak yang sudah imun yang mengalami infeksi Bordetella pertussis, biasanya terjadi infeksi asiptomatik (tanpa gejala klinis) atau hanya mengalami gejala klinis infeksi saluran nafas ringan (demam, batuk pilek, yang biasanya lebih singkat dari durasi pertusis klasik). Silakan baca:

Heininger, U., J. D. Cherry, T. Eckhardt, C. Lorenz, P. Christenson, and K. Stehr. 1993. Clinical and laboratory diagnosis of pertussis in the regions of a large vaccine efficacy trial in Germany. Pediatr. Infect. Dis. J. 12:504-509.
Heininger, U., W. J. Kleemann, J. D. Cherry, and S. S. Group. 2004. A controlled study of the relationship between Bordetella pertussis infection and sudden unexpected deaths in German infants. Pediatrics 114:e9-e15. 
Heininger, U., G. Schmidt-Schlapfer, J. D. Cherry, and K. Stehr. 2000. Clinical validation of a polymerase chain reaction assay for the diagnosis of pertussis by comparison with serology, culture, and symptoms during a large pertussis vaccine efficacy trial. Pediatrics 105:e31.
Schlapfer, G., J. D. Cherry, U. Heininger, M. Überall, S. Schmitt-Grohé, S. Laussucq, M. Just, and K. Stehr. 1995. Polymerase chain reaction identification of Bordetella pertussis infections in vaccinees and family members in a pertussis vaccine efficacy trial in Germany. Pediatr. Infect. Dis. J. 14:209-214.
Stehr, K., J. D. Cherry, U. Heininger, S. Schmitt-Grohé, M. Überall, S. Laussucq, T. Eckhardt, M. Meyer, R. Engelhardt, and P. Christenson. 1998. A comparative efficacy trial in Germany in infants who received either the Lederle/Takeda acellular pertussis component DTP (DTaP) vaccine, the Lederle whole-cell component DTP vaccine, or DT vaccine. Pediatrics 101:1-11.
Deen, J. L., C. A. Mink, J. D. Cherry, P. D. Christenson, E. F. Pineda, K. Lewis, D. A. Blumberg, and L. A. Ross. 1995. Household contact study of Bordetella pertussis infections. Clin. Infect. Dis. 21:1211-1219


"2. Baik tervaksin atau tidak, sama bahayanya dalam hal penyebaran penyakit dalam komunitas karena yang tervaksinpun berpotensi menjadi penyebar penyakit. Bahkan dapat dikatakan lebih berbahaya karena dapat menjadi wadah untuk silent infection."

Pemahaman ini keliru, silent infection adalah kejadian infeksi Bordetella pertussis dimana orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis sakit pertusis (asimptomatik), karena dia sudah imun terhadap daya rusak si Bordetella (ya, itu sudah terjelaskan juga pada point 1 di atas). Sehingga, meski si Bordetella pertussis nongkrong rame-rame di faring orang tersebut, ia tetap sehat sehat saja. 

Apa yang terjadi kemudian bila ia (si orang yang telah imun itu) bertemu dengan bayi anak pegiat antivaksin yang tidak divaksin pertusis? ya dia "..become potential transmitters to unprotected infants", bila Bordetella pertussis pindah dari faringnya ke bayi yang 'unprotected' tersebut, terjadilah infeksi pertussis dgn gejala klasik yang parah pada si bayi..

Makanya, menolak imunisasi itu justru membahayakan anak anda. Monggo dibaca:

Long, S. S., H. W. Lischner, A. Deforest, and J. L. Clark. 1990. Serologic evidence of subclinical pertussis in immunized children. Pediatr. Infect. Dis. J. 9:700-705. 
Long, S. S., C. J. Welkon, and J. L. Clark. 1990. Widespread silent transmission of pertussis in families: antibody correlates of infection and symptomatology. J. Infect. Dis. 161:480-486


"3. Yang tervaksin sekalipun tetap dapat menginfeksi (pada poin 2) dan juga dapat terinfeksi karena vaksin pertusis ditujukan untuk perlindungan dari penyakit klinis tapi bukan melawan infeksi. (line 4, link pertama)"

Betul sekali, vaksin pertussis yang ada saat ini memang 'baru' mampu melindungi dari manifestasi infeksi Bordetella pertussis (baca: gejala klinis, terutama yang gejala pertusis parah/klasik), belum mampu mencegah Bordetella pertussis nongkrong di tubuh. Ilmu pengetahuan maju & berkembang terus, semoga di masa depan ditemukan vaksin yang mampu membuat Bordetella pertusis enggan nongkrong di tubuh manusia. Mari kita dukung peneliti macam dr.James Cherry dari UCLA tersebut, yang menyatakan di paragraf terakhir artikelnya:

"Our goal should be the eventual control of B pertussis infection and not just the prevention of severe disease. In our opinion this is a realistic goal if we critically use available data and move forward with better vaccines and more comprehensive immunization programs involving adolescents and adults as well as children."

Cherry JD, Olin P. The science and fiction of pertussis vaccines. Pediatrics. 1999;104(6):1381–1383
Cherry JD. The present and future control of pertussis. Clin Infect Dis. 2010;51(6):663–667 


"4. vaksin pertusis hanya akan memberikan temporal immunity, karena efeknya akan berkurang setelah 5-10 tahun. (line 1, link pertama)"

Decay of immunity (kehilangan imunitas) terjadi karena antibodi yang terbentuk pada tubuh (antibodi terhadap PT, PRN dan FHA pada imunisasi pertusis) mulai menghilang; oleh karena itu dibutuhkan booster (imunisasi ulangan) untuk meningkatkan titer antibodi tersebut, sehingga imunitas terhadap kejadian penyakit pertusis yang berbahaya dapat dikembalikan. Makanya, marilah rajin mengimunisasi anak-anak kita, agar lengkap dan selalu terlindungi

Le, T., J. D. Cherry, S. J. Chang, M. D. Knoll, M. L. Lee, S. Barenkamp, D. Bernstein, R. Edelman, K. M. Edwards, D. Greenberg, W. Keitel, J. Treanor, and J. I. Ward. 2004. Immune responses and antibody decay following immunization of adolescents and adults with an acellular pertussis vaccine: APERT study. J. Infect. Dis. 190:535-544.
Storsaeter, J., H. O. Hallander, L. Gustafsson, and P. Olin. 1998. Levels of anti-pertussis antibodies related to protection after household exposure to Bordetella pertussis. Vaccine 16:1907-1916.

Categories: