#27 -- KIPI dan Pembiayaan KIPI
Imunisasi telah diakui sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif dan berdampak terhadap peningkatan
kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan itu maka kebutuhan akan vaksin makin
meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang
dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah
ditunjang pula oleh upaya perbaikan produksi vaksin dengan meningkatkan
efektivitas dan keamanan vaksin.
Faktor terpenting yang harus
dipertimbangkan dalam upaya pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara
imunogenisitas (daya pembentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi
simpang vaksin). Vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang
respons imun penerima sehingga tercapai nilai antibody di atas ambang
pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan untuk
tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan
gejala klinis penyakit secara alami.
Pada kenyataannya belum ada vaksin
yang benar-benar ideal, namun kemajuan bioteknologi saat ini telah dibuat
vaksin yang efektif dan relatif aman. Seiring dengan cakupan vaksinasi yang
tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat dan sebagai akibatnya kejadian
yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut
penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang
diberikan ataukah terjadi secara kebetulan. Reaksi simpang yang dikenal sebagai
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following
immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi,
baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas,
efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal tidak dapat ditentukan. Untuk mengetahui hubungan antara
imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan semua reaksi simpang
yang timbul setelah pemberian imunisasi yang merupakan kegiatan dari sistem
pemantauan (surveilans) KIPI. Hasil pemantauan akan dianalisis dan diberikan
umpan-balik kepada pembuat keputusan program imunisasi. Surveilans KIPI sangat
membantu program imunisasi, untuk menjamin keamanan imunisasi dan memberikan
perlindungan pada sasaran imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang
efektif.
Penanggulangan KIPI dilaksanakan
secara komprehensif meliputi penanganan medik terhadap kasus KIPI hingga
memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat, keamanan dan risiko
imunisasi. Untuk menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan KIPI tersebut
dibentuk Komite Nasional Penanganan dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI).
Komnas PP-KIPI merupakan suatu komite independen di tingkat nasional yang
terdiri dari unsure-unsur klinisi, pakar dalam bidang mikrobiologi, virology,
vaksin, farmakologi, ahli epidemiologi, ahli forensic, pakar hukum, yang berada
dalam organisasi profesi (IDAI, POGI, PAPD, ISFI), Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan cq. Sub Direktorat Imunisasi dan Sub Direktorat
Surveilans dan Badan POM. Komnas PP-KIPI bertugas menganalisis informasi hasil
telaah kasus KIPI, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan,
membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan
oleh Komda PP-KIPI dan melakukan umpan balik kepada Komda PP-KIPI yang terkait.
Komnas PP-KIPI dapat melakukan peninjauan lapangan (pelacakan menggunakan
otopsi verbal), serta menjelaskan manfaat, keamanan dan risiko imunisasi pada
masyarakat. Komnas PP-KIPI yang bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan cq.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
ini juga mempunyai wewenang memberikan nasehat, saran, dan pendapat ahli kepada
pihak-pihak yang memerlukan dalam rangka penjernihan masalah kasus KIPI dan
diduga KIPI. Sementara itu, di tingkat propinsi terdapat Komite Daerah
Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KOMDA PP-KIPI) yang terdiri dari
unsur-unsur profesi terkait yang akan bertanggungjawab kepada Gubernur cq.
Dinas Kesehatan Propinsi terkait penatalaksanaan analisis KIPI secara teratur
dan memberikan umpan balik ke sistem di bawahnya serta masyarakat di daerah
tersebut.
Pemantauan kasus KIPI merupakan
kerja sama antara Program Imunisasi Departemen Kesehatan dengan Badan Pengawas
Obat dan Makanan sebagai dua mitra yang bertanggung jawab terhadap keamanan
vaksin. Pemantauan kasus KIPI yang efektif melibatkan:
- Masyarakat atau petugas kesehatan di lapangan, yang
bertugas melaporkan bila ditemukan kasus yang diduga menderita KIPI kepada
petugas kesehatan Puskesmas setempat.
- Supervisor tingkat Puskesmas (petugas kesehatan/Kepala
Puskesmas) dan Kabupaten/Kota melengkapi laporan kronologis kasus diduga
KIPI.
- Tim KIPI tingkat Kabupaten/kota menilai laporan KIPI
dan menginvestigasi KIPI apakah memenuhi kriteria klasifikasi lapangan dan
melaporkan kesimpulan investigasi ke Komda PP-KIPI.
- Komda PP-KIPI, memeriksa informasi dari hasil telaah
kasus KIPI di tingkat propinsi, bertugas melakukan analisis KIPI secara
teratur dan melakukan umpan balik ke sistem di bawahnya, bila perlu
melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan menggunakan Formulir
Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang manfaat, keamanan dan
risiko imunisasi kepada masyarakat.
- Komnas PP-KIPI, memeriksa informasi hasil telaah kasus
KIPI yang dikirim oleh Komda PP-KIPI, melakukan analisis KIPI secara
teratur, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat
penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dapat disimpulkan oleh
Komda, bila perlu melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan
menggunakan Formulir Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang
manfaat, keamanan dan risiko imunisasi kepada masyarakat.
Tujuan utama pemantauan kasus KIPI
adalah untuk mendeteksi dini, merespon kasus KIPI dengan cepat dan tepat,
mengurangi dampak negatif imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap
program imunisasi. Pemantauan kasus KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan
kasus, pelacakan kasus, analisa kejadian, tindak lanjut kasus, pelaporan dan
evaluasi. Hal ini merupakan indikator kualitas program. Pemantauan kasus KIPI
Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi:
- Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian,
menindaklanjuti kasus, melaporkan dan mengevaluasi kasus.
- Memperkirakan angka kejadian KIPI (rate KIPI)
pada suatu populasi
- Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak
wajar pada batch vaksin atau merek vaksin tertentu
- Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI
merupakan koinsidens atau bukan
- Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program
imunisasi
- Memberi respons yang cepat dan tepat terhadap perhatian
orang tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian
(masyarakat dan profesional) tentang adanya risiko imunisasi.
Bagian terpenting dalam pemantauan
KIPI adalah menyediakan informasi kasus KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat
dinilai dan dianalisa untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah.
Respons merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.
Penemuan kasus KIPI merupakan
kegiatan penemuan kasus KIPI atau diduga KIPI baik yang dilaporkan orang
tua/pasien, masyarakat atau petugas kesehatan. Laporan harus ditanggapi dengan
serius dan ditindaklanjuti dimulai dari petugas kesehatan Puskesmas setempat
untuk memvalidasi laporan kasus. Laporan kasus harus dibuat secara rinci sesuai
formulir laporan kasus KIPI untuk menentukan penyebab kasus.
Tabel kasus KIPI yg harus dilaporkan
Kurun
Waktu Terjadi KIPI
|
Gejala Klinis
|
Dalam 24 jam
|
· Reaksi anafilaktoid (reaksi akut hipersensitif)
· Syok anafilaktik
· Menangis keras terus lebih dari 3 jam (persistent
inconsolable screaming)
· Episode hipotonik – hiporesponsif
· Toxic shock syndrome
|
Dalam 5 hari
|
· Reaksi lokal yang berat
· Sepsis
· Abses di tempat suntikan (bakterial/steril)
|
Dalam 15 hari
|
· Kejang, termasuk kejang demam (6 – 12 hari untuk campak/
MMR: 0 – 2 hari)
· Ensefalopati (6 – 12 hari untuk campak/ MMR: 0 – 2 hari)
|
Dalam 3 bulan
|
· Acute flaccid paralysis = lumpuh layu (4 – 30 hari untuk
penerima OPV; 4 – 75 hari untuk kontak)
· Neuritis brakial (2 – 26 hari sesudah imunisasi tetanus)
· Trombositopenia (15 – 35 hari sesudah imunisasi campak/MMR)
|
Antara 1 hingga 12 bulan
sesudah imunisasi BCG
|
· Limfadenitis
· Infeksi BCG menyeluruh (disseminated BCG infection)
· Osteitis/osteomyelitis
|
Tidak ada batas waktu
|
Setiap kematian, rawat
inap atau kejadian lain yang berat dan kejadian yang tidak biasa, yang
dianggap masyarakat ada hubungannya dengan imunisasi
|
Untuk gejala kasus KIPI dengan
reaksi yang ringan seperti reaksi lokal, demam dan gejala-gejala sistemik yang
dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan. Jika ada keraguan apakah suatu
kasus harus dilaporkan atau tidak, sebaiknya dilaporkan, agar mendapat umpan
balik positif bila kasus tersebut memang harus dilaporkan. Petugas kesehatan
atau Kepala Puskesmas bertanggung jawab melengkapi formulir pelaporan dengan
berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Petugas investigator KIPI
Dinas Kesehatan/Kota akan menentukan apakah kasus KIPI termasuk dalam daftar
KIPI yang harus dilaporkan, mengirimkan formulir laporan ke tingkat propinsi
dan segera melaporkan jika kasus KIPI menjadi perhatian masyarakat atau terjadi
kasus KIPI berkelompok. Dokter praktek swasta dan rumah sakit harus melaporkan
kasus-kasus KIPI kepada Dinas Kesehatan dan atau Komda KIPI setempat dengan
melengkapi formulir pelaporan. Laporan harus dibuat secepatnya sehingga
keputusan dapat dibuat secepat mungkin untuk tindakan atau pelacakan.
Tabel 2. Kurun waktu pelaporan
berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan
Jenjang Administrasi dan Kurun waktu
diterimanya laporan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: 24
jam dari saat penemuan kasus
Dinas Kesehatan Propinsi/Komda
PP-KIPI: 24 – 72 jam dari saat penemuan kasus
Sub Direktorat Imunisasi/Komnas
PP-KIPI: 24 jam – 7 hari dari saat penemuan kasus
Dalam waktu 24 jam setelah laporan
kasus KIPI diterima, suatu penilaian sebaiknya sudah dilakukan untuk menentukan
apakah diperlukan pelacakan kasus KIPI tersebut. Kasus tersangka KIPI harus
dilacak secepatnya dan mencari informasi kasus selengkap-lengkapnya. Kasus KIPI
harus dilacak secepatnya jika:
- Ada dalam daftar kasus laporan untuk pemantauan KIPI
- Kasus mungkin disebabkan oleh kesalahan program
- Kasus berat yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan
- Menimbulkan perhatian yang serius dari orang tua atau
masyarakat.
Pelacakan dapat dilakukan oleh
petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang bersangkutan. Pelacak perlu
melihat secara langsung terduga KIPI, untuk mengumpulkan informasi dari pasien
atau orang tua, petugas kesehatan, kepala Puskesmas setempat dan anggota
masyarakat. Apabila kasus yang dilaporkan memang diduga KIPI, maka dicatat
identitas kasus, data vaksin, petugas yang melakukan imunisasi, dan bagaimana
sikap masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak
kemungkinan kasus lain yang sama atau berkelompok (cluster), terutama
yang mendapat imunisasi pada tempat dan nomor batch vaksin yang sama.
Informasi yang dikumpulkan (dan kesimpulan) dicatat pada formulir investigasi
KIPI yang telah tersedia.
Pelacakan kasus KIPI mengikuti
standar prinsip pelacakan epidemiologi, dengan memperhatikan kaidah pelacakan
vaksin, teknik dan prosedur imunisasi dan melakukan perbaikan berdasarkan
temuan yang didapat. Kepala Puskesmas atau Komda PP-KIPI dapat menganalisis
data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan mencoba mencari
penyebab KIPI tersebut. Komnas PP-KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2
kliasifikasi, yaitu: 1) klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999)
untuk petugas kesehatan di lapangan dan 2) klasifikasi kausalitas menurut IOM
1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP-KIPI.
Klasifikasi KIPI sesuai dengan
manfaatnya di lapangan menurut WHO Western Pacific antara lain:
- Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic
errors)
Sebagian besar kasus KIPI
berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang
meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian
vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya:
- Dosis antigen (terlalu banyak)
- Lokasi dan cara menyuntik
- Sterilisasi semprit dan jarum suntik
- Jarum bekas pakai
- Tindakan aseptik dan antiseptik
- Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
- Penyimpanan vaksin
- Pemakaian sisa vaksin
- Jenis dan jumlah pelarut vaksin
- Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk
pemakaian, indikasi kontra, dan lain-lain)
Kecurigaan terjadi kesalahan dalam
tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI
berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi
akibat trauma tusuk jarum suntik baik secara langsung maupun tidak langsung harus
dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemeraan pada tempat suntikan. Sedangkan reaksi suntikan tidak
langsung misalnya rasa takut, pusing, mual bahkan hingga pingsan karena begitu
takut disuntik.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi
vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi
simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walau demikian, dapat saja
terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis yang berbahaya. Reaksi
simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus,
perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini
harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsidens)
Kejadian ini terjadi secara
kebetulan saja setelah diimunisasi. Salah satu faktor kebetulan ini ditandai
dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada populasi setempat
dengan kharakteristik serupa padahal tidak mendapat imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang
dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk
sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut.
Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan keompok
penyebab KIPI.
Uji laboratorium kadang-kadang
diperlukan untuk dapat memastikan atau menyingkirkan dugaan penyebab seperti:
vaksin mungkin diuji sterilitas dan potensi; pelarut untuk pemeriksaan
sterilisasi dan komposisi kimia; jarum suntik dan syringe untuk sterilitas.
Pemeriksaan uji laboratorium ini untuk menunjang menjelaskan kecurigaan dan
bukan sebagai prosedur rutin. Jika sisa vial vaksin masih ada, sebaiknya vaksin
ini dikirim bersama dengan vial vaksin yang belum dipakai dengan nomer batch
yang sama. Vial vaksin tersebut disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang
utuh (perhatikan cold chain).
Tindak lanjut kasus KIPI dengan
adanya data kasus, maka dokter puskesmas dapat memberikan pengobatan segera.
Apabila kasis tergolong berat harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan pemberian pengobatan segera. Komunikasi yang baik terhadap kasus
KIPI harus dilakukan dengan baik, tidak berbohong, dengan tetap fokus pada
masalah yang berhubungan dengan sistem serta langkah-langkah yang diambil untuk
mengatasi masalah tersebut. Evaluasi rutin dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas
Kesehatan Propinsi minimal 6 bulan sekali. Evaluasi tahunan dilakukan oleh
Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Propinsi untuk tingkat propinsi dan Komnas
PP-KIPI/Sub Direktorat Imunisasi untuk tingkat nasional.
Setelah didapatkan kesimpulan
penyebab dari hasil investigasi kasus KIPI maka dilakukan tindak lanjut
perbaikan.
Tabel 3. Tindak lanjut setelah
investigasi lengkap
Reaksi vaksin
Jika rasio reaksi lebih besar dan
yang diharapkan pada vaksin atau batch tertentu dibandingkan dengan data dari
pabrik vaksin, dan setelah konsultasi dengan WHO dipertimbangkan untuk
- Menarik batch tersebut
- Kemungkinan harus dilakukan perubahan prosedur kualiti
kontrol
Kesalahan program
Memperbaiki penyebab dari kesalahan
tersebut. Dapat dilakukan dengan
- Mengatasi masalah logistic dalam penyediaan vaksin
- Memperbaiki prosedur pada fasilitas kesehatan
- Pelatihan tenaga kesehatan
- Pengawasan yang ketat
Apapun tindak lanjut yang akan
diambil, penting untuk pemeriksaan selanjutnya bahwa kesalahan program telah
diperbaiki
Koinsiden
Tugas utama adalah komunikasi untuk
meyakinkan masyarakat bahwa kejadian tersebut hanya suatu kebetulan. Komunikasi
akan menjadi sulit bila sudah ada keyakinan yang tersebar bahwa kejadian
tersebut disebabkan oleh imunisasi.
Kadang-kadang akan sangat bermanfaat
untuk melakukan pelacakan lanjutan oleh tenaga ahli untuk meyakinkan bahwa
kejadian tersebut benar-benar disebabkan oleh koinsiden (kebetulan).
Potensi kasus KIPI koinsiden
(kebetulan) dapat menganggu program imunisasi karena kesalahan persepsi cukup
besar.
Tidak diketahui
Tergantung pada masalah kejadian
KIPI tersebut, apakah cukup luas atau masih berlangsung, suatu investigasi
lanjutan oleh tenaga ahli mungkin diperlukan.
Bagaimanapun, kadang-kadang hubungan
beberapa kasus KIPI hubungan dengan imunisasi tidak jelas.
Dikutip dan dimodifikasi dari:
Immunization Safety Surveillance: Guideline for manager of Immunization
programmes on reporting and investigating AEFI; WHO Regional Office for Western
Paccific; Malina, 1999.
Penanggulangan kasus KIPI dilakukan
penanganan primer, sekunder dan tersier. Pada penanggulangan primer dilakukan
pencegahan dengan persiapan tertentu sebelum dan pada saat pelaksanaan
imunisasi agar tidak terjadi kasus KIPI. Persiapan tersebut meliputi persiapan
tempat, alat dan obat, fasilitas rujukan, penerima vaksin (resipien), mengenal
gejala KIPI, dan prosedur pelayanan imunisasi.
Tabel gejala KIPI dan Tindakan yang harus dilakukan
Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor JP/Menkes/092/11/2012 tanggal 22 Februari 2012 tentang Pembiayaan kasus KIPI maka pembiayaan KIPI mulai tahun 2012 dijamin oleh Pemerintah melalui program Jamkesmas dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penerima manfaat pembiayaan KIPI meliputi peserta Jamkesmas dan non-Jamkesmas.
2. Bagi penderita KIPI yang merupakan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu Jamkesmas.
3. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu identitas (KTP, Kartu Keluarga dan lain-lain).
4. Penderita KIPI yang berobat ke PPK Lanjutan berhak mendapatkan surak keabsahan peserta (SKP) yang diterbitkan oleh PT Askes.
5. Prosedur pelayanan dan mekanisme pembayaran pelayanan KIPI mengacu kepada ketentuan dalam Jamkesmas.
6. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas hanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kasus KIPI tersebut. Untuk kasus atau penyakit lainnya tidak menjadi beban pembiayaan Jamkesmas.
Sumber:
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%201626%20ttg%20Pedoman%20Pemantauan%20Dan%20Penanggulangan%20Kejadian%20Ikutan%20Pasca%20Imunisasi%20(KIPI).pdf
http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=340:surat-edaran-menteri-kesehatan-tentang-qpembiayaan-kasus-kipiq&catid=55:berita-pusat&Itemid=101
Tabel gejala KIPI dan Tindakan yang harus dilakukan
No. | KIPI | Gejala | Tindakan | Keterangan |
---|---|---|---|---|
1. | Vaksin | |||
a. | Reaksi Lokal Ringan |
|
|
|
b. | Reaksi Lokal Berat (Jarang terjadi) |
|
|
Jika tidak ada perubahan hubungi puskesmas setempat |
c. | Reaksi Arthrus |
|
|
|
d. | Reaksi Umum (gejala sistemik) | Demam, lesu, nyeri otot, nyeri kepala dan menggigil |
|
|
e. | Kolaps/keadaan seperti syok |
|
|
|
f. | Reaksi Khusus
1. Sindrom Guillain-Barre (jarang terjadi) |
|
Rujuk segera ke RS untuk perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut | Perlu untuk penyelidikan AFP |
2.Neuritis brakial (neuropati pleksus brakialis) |
|
|
||
3.Syok anafilaksis |
|
|
||
4.Gejala Lain |
|
|
1. Penerima manfaat pembiayaan KIPI meliputi peserta Jamkesmas dan non-Jamkesmas.
2. Bagi penderita KIPI yang merupakan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu Jamkesmas.
3. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu identitas (KTP, Kartu Keluarga dan lain-lain).
4. Penderita KIPI yang berobat ke PPK Lanjutan berhak mendapatkan surak keabsahan peserta (SKP) yang diterbitkan oleh PT Askes.
5. Prosedur pelayanan dan mekanisme pembayaran pelayanan KIPI mengacu kepada ketentuan dalam Jamkesmas.
6. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas hanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kasus KIPI tersebut. Untuk kasus atau penyakit lainnya tidak menjadi beban pembiayaan Jamkesmas.
Sumber:
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%201626%20ttg%20Pedoman%20Pemantauan%20Dan%20Penanggulangan%20Kejadian%20Ikutan%20Pasca%20Imunisasi%20(KIPI).pdf
http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=340:surat-edaran-menteri-kesehatan-tentang-qpembiayaan-kasus-kipiq&catid=55:berita-pusat&Itemid=101