Background

#1 -- TANYA JAWAB KERAGUAN VAKSIN - BAGIAN I




Q: Apakah vaksin itu halal?

Isu kehalalan vaksin dipertanyakan sebab adanya enzim tripsin babi yang digunakan sebagai katalisator. Sebagai seorang Muslim yang diwajibkan menjaga diri dari barang haram sekaligus dokter yang memahami pentingnya vaksinasi  tentu saja isu ini sangat meresahkan saya. Alhamdulillah banyak ustadz yang berkompeten di bidang agama dengan pemahaman yang benar dan ilmu kedokteran yang mendalam. Berikut rangkuman dari data yang saya miliki terhadap status vaksin dimata syariat.

Menanggapi penggunaan unsur babi dalam vaksin, ulama ada dua pendapat, yaitu:
1.     Para ulama yang menganut madzhab Syafi’iyyah melarang penggunaan unsur dari babi, namun jika kondisinya darurat dan tidak ada alternatif lain maka hukumnya mubah. Larangan ini berdasarkan al qur’an dalam ayat Q.S 2: 173, 5: 3, dll
2.     Para ulama yang menganut madzhab Hambaliyah tidak mempermasalahkan dengan berpedoman pada kaidah fiqih yang disebut ISTIHALAH, yaitu menghalalkan bahan yang semua haram karena telah berubah sifat. Enzim tripsin berbeda dengan daging babi, sehingga ulama-ulama tidak mempermasalahkannya.
Ibnul Qayyim berpendapat, “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.” [15]

Bisa kita ambil contoh benda yang tadinya halal menjadi haram seperti beras berubah menjadi sake atau makanan yang menjadi kotoran. Sementara itu contoh benda haram menjadi halal seperti kotoran dan kencing binatang berubah menjadi biogas atau nira kelapa difermentasi menjadi tuak (khamr) lalu berubah lagi menjadi cuka. Sifat benda sekarang yang menjadi patokan bukan benda asalnya.

Dalam salah satu kaidah fiqih disebutkan bahwa, "Mendapatkan manfaat yg lebih besar itu lebih utama utk dilakukan daripada meninggalkan madlorot yg lebih kecil."
Contoh aplikasi kaidah ini adalah:
Kasus ekstrim, dimana kita terdampar di sebuah pulau dan tdk ada makanan selain babi, maka kita diijinkan memakan babi tersebut selama kita sekedar mempertahankan hidup, tidak menginginkannya, dan tidak melampaui batas. Jika ada bahan makanan lain, maka kita harus memilih yg lebih halal.

Rujukan kasus darurat ini adalah QS. Al Baqoroh (2):173. Batasan darurat itu:
a. Tidak ada bahan makanan yang lain
b. Sekedar untuk menyambung hidup
c. Tidak berlebihan, tidak menikmati, tidak menginginkannya
d. Jika ditemukan bahan lain yang lebih halal, maka HARUS memilih yang lebih halal, dan bahan haram tadi HARUS ditinggalkan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah [sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238] dan Majelis Ulama Eropa [Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203] memperbolehkan vaksinasi jika mengkhawatirkan tertimpa penyakit akibat wabah-wabah atau sebab lainnya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Ada kaidah begini: siapa yang percaya mutlak kepada sebab dia syirik, siapa yang tidak percaya mutlak kepada sebab dia kufur.
Misal: orang yang percaya 100% bahwa vaksinasi PASTI melindungi anak dari penyakit lupa bahwa Allah lah yang menurunkan penyakit, sehingga tidak pernah berdoa kepada Allah minta perlindungan dari penyakit (karena 100% mengandalkan vaksinasi) maka dia syirik. Sudah menuhankan vaksinasi.
Sebaliknya: orang yang tidak mau berikhtiar sama sekali, termasuk tidak mau vaksinasi, tidak mau berobat, dll karena tidak percaya mutlak kepada sebab dan hanya bilang bahwa saya percaya akan takdir Allah, kalo ditakdirkan sakit ya pasti sakit, kalo sehat ya pasti sehat, sama dengan paham fatalistik, maka dia sudah kufur (Al Islam, Said Hawwa).

Di Indonesia hanya ada 3 vaksin dengan tripsin babi yaitu meningitis, polio injeksi dan rotavirus. Sementara vaksin meningitis produksi China dan Italia telah mendapatkan label halal dari MUI. Untuk vaksin polio bisa dipilih polio oral (OPV) apalagi Indonesia belum dinyatakan bebas polio. Vaksin rotavirus bisa digunakan produksi Jepang yang menggunakan kelinci.

Proses pembuatan vaksin berbeda dari pembuatan obat puyer dimana semua bahan dicampur dalam satu wadah lalu digerus bersamaan sehinggi semua bahan tercampur. Proses pembuatan vaksin skala industri menggunakan industrial plants yang kompleks dan terintergrasi. Produksi vaksin meliputi tahap sebagai berikut:
a. Produksi seed (parent seed, master seed, dan working seed)
b. Fermentasi working seed
c. Isolasi antigen vaksin
d. Purifikasi (pemurnian) polisakarida vaksin.
Dalam setiap tahap bahan baku untuk tahap tertentu tidak akan bersinggungan dengan tahapan berikutnya.

Perlu untuk diketahui peranan tripsin babi sendiri di dalam vaksin. Sel bakteri yang digunakan untuk vaksin memiliki dinding berupa protein. Enzim tripsin babi hanya berfungsi sebagai gunting untuk memotong rantai panjang protein menjadi peptida rantai pendek yaitu asam amino. Setelah mengalami fermentasi sel-sel bakteri ini akan dipecah dan polisakarida yang ada di sebelah dalam dinding bakteri tersebut diambil. Polisakarida inilah yang digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Jadi, antigen yang digunakan dalam vaksin ini tidak bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung dengan enzim tripsin babi.

Polisakarida tersebut juga melewati proses pemurnian (purifikasi) dengan cara pencucian dan pengenceran working seed. Pencucian working seed terjadi 1 : 67,5 milyar kali, jadi dicuci dan diencerkan sebanyak 67,5 milyar kali. Keputusan hukum PP Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama no 04 th 2010 tentang vaksin meningitis: pensuciannya sesuai untuk najis berat. Enzim tripsin berperan sebagai katalisator yang mempercepat reaksi hingga seribu kali. Tanpa biokatalisator tripsin ini reaksi akan berjalan sangat lambat, bahkan bisa bertahun-tahun sehingga tidak efektif.

Saat ini para ilmuwan sedang terus mencoba untuk mengembangkan metode lain, seperti membuat vaksin dengan media tumbuhan. Namun, menciptakan teknologi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bisa jadi nanti anak-anak kita yang cerdas dan sehat ini yang akan memperbaiki teknologi ini bukan?

Kesimpulan: vaksinasi mubah silahkan jika ingin melakukan vaksinasi jika sesuai dengan keyakinan.

Sumber:
Konferensi ulama yang diselenggarakan WHO http://www.immunize.org/concerns/porcine.pdf
 Prof DR Umar Anggara Jenie, guru besar Farmasi UGM dalam kultwit vaksin halal dan thoyyibah http://chirpstory.com/li/10761



Q: APAKAH VAKSIN MENYEBABKAN AUTISME?



Isu vaksin menyebabkan autis selalu meresahkan para orang tua. Isu ini berawal dari seorang dokter ahli bedah, Andrew Wakefield, membuat penelitian yang hasil akhirnya membuktikan vaksin MMR menyebabkan autisme. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1998 diterbitkan di jurnal kedokteran yang terpercaya yaitu The Lancet dan diumumkan secara besar-besaran. Dunia geger dan orang tua di seluruh dunia mengalami kepanikan menolak vaksinasi terutama MMR.

Para ilmuwan dan WHO tidak tinggal diam, dilakukan penelitian yang sistemastis dengan banyak sampel. Dari penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia, sebelas penelitian besar membuktikan bahwa MMR tidak menyebabkan autisme dan enam penelitian besar berhasil membuktikan keamanan thimerosal.

Setelah ditelusuri ternyata Wakefield menerima suap jutaan dollar untuk membuat penelitian rekayasa yang menghasilkan merk vaksin MMR yang digunakan saat itu menyebabkan autisme. Penelitian Wakefield ini hanya melibatkan 12 anak yang tentunya sangat tidak mewakili komunitas masyarakat di seluruh belahan dunia. Penelitian ini juga terbukti tidak disetujui oleh Komite Etik tempatnya bekerja dan dicemari dengan pemalsuan data.

Pada tahun 2005 The Lancet mulai menarik artikelnya dan keterangan tentang ketidakbenaran penelitian ini telah diumumkan secara resmi di jurnal resmi kedokteran Inggris yang sangat berpengaruh di dunia kedokteran: British Medical Journal yang terbit pada bulan Februari 2011.

Vaksin dan bahan yang terkandung di dalamnya (thimerosal) tidak terbukti menyebabkan autisme maupun kerusakan otak. Kejadian autisme biasanya terdiagnosis pada tahun kedua usia bayi dimana pada usia tersebut bayi memang sering divaksinasi. Dan pada pemeriksaan tubuh anak tidak terdapat kenaikan kadar merkuri baik di darah, rambut maupun sel-sel yang lain. Berdasarkan penelitian meta-analisis yang membandingkan anak yang divaksin dengan yang tidak divaksin dihasilkan kejadian autismenya sama di kedua kelompok (pada anak yang tidak divaksin pun ternyata tetap muncul kasus autisme). Oiya, meta analisis itu adalah tingkatan penelitian tertinggi.



Sumber:










Q: Benarkah ada merkuri yang berbahaya di dalam vaksin?



Sebagai orang tua tentu saja kita ingin melindungi anak-anak kita. Kita tidak mau ada bahan berbahaya yang masuk ke dalam tubuh anak kita. Isu adanya merkuri di dalam vaksin meresahkan banyak pihak. Isu tersebut mengingatkan kita akan kejadian tragedi Minamata dimana keracunan merkuri menimpa warga di Minamata Jepang sehingga muncul penyakit keracunan merkuri pada tahun 1956. Hal ini dikarenakan adanya pabrik kimia yang membuang limbah mengandung metilmerkuri (methylmercury) ke Teluk Minamata pada tahun 1932-1968.



Didalam kehidupan kita sehari-hari, merkuri dikenal dalam 3 bentuk :

1.     Logam merkuri (elemental). Biasa ditemui pada termoter tua. Merkuri tipe ini tidak bisa di serap oleh tubuh melalui oral (dimakan) -kemampuan penyerapannya hanya 0.01%- sementara melalui proses inhalasi dapat diserap sampai > 80%.

2.     Merkuri anorganik. Jenis merkuri ini dapat diserap tubuh secara oral sampai 7 - 15 %, bentuk senyawa merkuri ini biasa ditemukan pada batrei.

3.     Merkuri organik (methylmercury fungisida, fenil merkuri, ethylmercury). Jenis merkuri ini mampu diserap tubuh melalui proses oral sampai 90%.



Merkuri disebut juga hydrargyrum atau air perak karena sifatnya yang cair seperti air dan berkilau seperti perak. Jangan kan pada vaksin, ternyata logam berat merkuri banyak ditemukan di alam ini bahkan pada bahan makanan. Merkuri banyak kita temui di alam, sebagai mineral di bebatuan, dalam tanah, air, bahan bakar fosil seperti batubara, sumber mata air panas dan letusan gunung berapi. Merkuri organik ini juga bisa berasal dari merkuri anorganik yang dimetabolisme oleh mikroorganisme yang hidup dalam air menjadi merkuri organik.



Merkuri organik yang sering ditemukan di alam adalah metilmerkuri, merkuri yang sama yang menyebabkan tragedi penyakit Minamata. Ikan dan kerang-kerangan memiliki kemampuan untuk menyimpan merkuri di dalam tubuhnya, dan memiliki sifat biomagnifikasi yaitu konsentrasi makin besar di tingkat piramida makanan yang makin tinggi artinya pemangsa memiliki konsentrasi merkuri lebih tinggi dibandingkan yang dimangsa. Metilmerkuri terdapat di ikan catfish, grouper, makarel, sarden, hiu, tuna, kerang, tiram, kepiting, lobster dan udang.



Metilmerkuri ini waktu paruhnya sangat lama yaitu 50 hari di darah dan hingga 120 hari di otak manusia sehingga lama dikeluarkan dari tubuh. Karena metilmerkuri ini lama di dalam tubuh, maka jika kadarnya berlebihan bisa memasuki jaringan otak bahkan plasenta dan akan merusak otak bayi. Metilmerkuri bahkan ditemukan di air susu ibu (ASI) saat ibu mengkonsumsi bahan yang mengandung metilmerkuri.



Merkuri memiliki efek antibakterial (antiseptik) dan antijamur sehingga banyak digunakan sebagai preservative dalam berbagai produk baik medis maupun non-medis seperti kosmetik. Zat yang biasa digunakan adalah thimerosal atau thiomerosal. Thimerosal dimetabolisme menjadi 46,9% merkuri organik yang berupa etilmerkuri dan thiosalisilat. Etilmerkuri ini waktu paruhnya sangat jauh lebih singkat daripada metilmerkuri yaitu 7 hari akan dikeluarkan dari tubuh.  Penggunaan etilmerkuri dinyatakan tidak berbahaya bagi tubuh. Etilmerkuri menjadi berbahaya, baik untuk dewasa dan anak-anak, apabila kandungannya 1000-1000000 kali lipat dari yang ada di dalam vaksin.



Beberapa tahun yang lampau berhembus isu thimerosal menyebabkan kerusakan otak pada anak dan autisme. Isu ini sangat meresahkan para orang tua dan menurunkan kepercayaan pada vaksinasi. Akhirnya FDA, EPA dan ATSR melakukan serangkaian penelitian. Dari serangkaian penelitian, FDA memutuskan bahwa thimerosal dinyatakan aman sebagai preservative vaksin. Namun, akhirnya pada tahun 2001 thimerosal sudah tidak digunakan lagi sebagai preservative dalam vaksin untuk anak-anak. Penghilangan thimerosal bukan karena etilmerkuri tidak aman, namun karena menghindari kekhawatiran para orang tua. Hanya vaksin multidosis yang menggunakan thimerosal, yaitu kemasan vaksin yang diambil berkali-kali.



Jadi, saat ini sebagian besar vaksin untuk anak sudah bebas dari thimerosal atau merkuri. :)



Sumber:












Q: Apakah bahan vaksin berasal dari nanah?



Nanah? Membayangkan nanah yang ada di jerawat saja saya jijik apalagi membayangkan zat tersebut disuntikkan ke dalam tubuh bayi saya. Isu ini terkait dengan sejarah pembuatan vaksin.

Sebelumnya perlu dipahami bahwa produksi vaksin itu adalah produksi dalam jumlah sangat banyak di skala industri modern yang besar. Sehingga ketersediaan bahan untuk membuat vaksin harus selalu terjamin kualitas maupun kuantitasnya, berbeda dengan mbok jamu yang tiap kali mau memproduksi jamu godhong kates (daun pepaya) beliau pergi ke kebun lalu memetik daun pepaya segar setiap hari untuk ditumbuk menjadi jamu.

Pada tahun 1718, Lady Mary Wortley Montague seorang bangsawan Inggris melihat kebiasaan bangsa Turki Othmany melakukan inokulasi, yaitu mengambil cairan nanah dari penyakit cacar dengan gejala ringan (smallpox) ke anak yang sehat. Kebiasaan itu terbukti melindungi anak-anak dari penyakit cacar (smallpox/variola) yang sangat menular dan mematikan. Lady Mary kemudian melakukan hal tersebut kepada kedua anaknya.

Pada tahun 1796, seorang dokter di pedesaan Inggris mengamati bahwa para pekerja yang terpapar dengan cacar sapi (cowpox) terlihat kebal terhadap serangan cacar (smallpox/variola). Akhirnya dokter tersebut, Edward Jenner, mencoba mengambil cairan nanah dari cacar sapi (cowpox) dan menginokulasikannya ke seorang anak laki-laki sehat berusia 8 tahun, James Phillips, dan berhasil menciptakan kekebalan terhadap infeksi cacar variola. Oleh sebab itu vaccination berasal dari kata vacca yang artinya sapi, karena vaksinasi pertama kali dilakukan dengan mengambil virus yang menginfeksi sapi untuk membentuk kekebalan terhadap smallpox.

Itu kejadian lebih dari 200 tahun yang lalu, memang benar berasal dari nanah sapi. Namun, untuk masa sekarang ini, teknologi kedokteran sudah sangat berkembang dengan pesat sehingga virus dan bakteri yang digunakan untuk vaksinasi bukan diambil dari nanah lagi. Pembuatan vaksin itu adalah industri skala besar jadi ketersediaan bahan harus terjaga konsistensi jumlah dan kualitasnya. Tidak seperti orang menanam padi yang tiap 3 bulan panen, apa iya perusahaan vaksin mau memelihara orang sakit cacar sehingga tiap hari mau dipanen nanahnya? Jelas tidak mungkin, karena orang sakit cacar juga tidak tiap hari ada. Oleh sebab itu, virus dan bakterinya dipelihara di laboratorium untuk dijaga kualitas dan jumlahnya sehingga produksi vaksin skala besar bisa dilakukan setiap saat selama vaksin tersebut masih dibutuhkan.



Sumber:






Q: Apakah vaksin terbuat dari janin? Apakah vaksin terbuat dari ginjal kera? Apakah vaksin terbuat dari babi dan anjing?



Penggunaan vaksin “dari janin” ini biasanya menuai kontroversi di umat Katholik. Namun, siapa pun pasti ngeri plus jijik jika mendapat informasi vaksin terbuat dari janin, kera, babi dan anjing.

Serupa dengan keterangan di atas, perlu dipahami bahwa produksi vaksin itu adalah produksi dalam jumlah sangat banyak di skala industri modern yang besar. Sehingga ketersediaan bahan untuk membuat vaksin harus selalu terjamin kualitas maupun kuantitasnya, berbeda dengan mbok jamu yang tiap kali mau memproduksi jamu godhong kates (daun pepaya) beliau pergi ke kebun lalu memetik daun pepaya segar setiap hari untuk ditumbuk menjadi jamu.

Isu ini muncul berkaitan dengan sejarah penemuan media yang digunakan untuk pengembangbiakan virus dan bakteri yang akan  digunakan dalam vaksin. Media tumbuh ini ibarat “tanah” bagi pohon kelapa. Namun, virus dan bakteri sayangnya berbeda dengan pohon kelapa yang bisa tumbuh di tanah manapun, mulai dari daerah pantai hingga puncak gunung yang gersang.

Pada era modern saat ini, bakteri bisa ditumbuhkan dan dipelihara di lingkungan laboratorium tanpa memerlukan media hewani, jadi tinggal diberi zat makanannya dan lingkungan yang nyaman bagi bakteri itu. Namun, berbeda dengan bakteri, virus memerlukan media khusus, yaitu sel seperti sel-sel embrio di telur ayam. Sel yang bisa digunakan untuk menumbuhkembangkan virus pun adalah sel khusus yang terjaga kemurniannya di laboratorium dengan teknologi kultur jaringan, yaitu strain cell atau cell line.

Strain cell berupa cell line ini tidak mudah diperoleh, para ilmuwan di laboratorium senantiasa bereksperimen dengan penuh ketelitian di bawah pengawasan Komite Etik untuk menjaga agar penelitian tetap berjalan sesuai hukum dan koridor keilmuan yang etis. Strain cell ini dikondisikan untuk mendapatkan satu jenis sel tunggal yang abadi dan selalu berkembangbiak yang disebut cell line. Karena untuk membuat vaksin skala industri dibutuhkan media sel yang murni, berjumlah sangat besar dengan konsistensi sifat yang sangat terjaga. Cell line ini asalnya bermacam-macam dan memang ada yang berasal dari tikus, mencit, kelinci, sel kanker, janin manusia, kera, anjing dan lain-lain.

Alkisah, ilmuwan mencoba untuk membiakkan virus di berbagai media sel. Pada tahun 1936 Albert Sabin dan Peter Olitsky membiakkan sel otak yang berasal dari janin manusia yang sudah keguguran untuk membuat vaksin polio. Kemudian pada tahun 1951, Jonas Salk berhasil membiakkan sel dari ginjal kera (Vero cell line) untuk vaksin polio. Hingga kini sel Vero ini dipelihara dan dikembangbiakkan untuk memproduksi vaksin polio, variola, rotavirus dan japanese encephalitis. Pada tahun 1958 juga dikembangkan sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) yang diambil dari ginjal anjing cocker spanyol.

Virus memerlukan sel tertentu untuk hidup, virus manusia membutuhkan media sel manusia. Sel manusia ini bisa berasal dari sel kanker (contoh: Hela cell line berasal dari sel kanker seorang pasien wanita Henrietta Lacks) atau sel janin yang sebelumnya telah meninggal di rahim sang ibu. Janin yang meninggal di rahim memang harus dikuret, sebab jika tidak dia akan menjadi racun bagi rahim dan ibunya. Dengan persetujuan keluarga serta di bawah pengawasan Komite Etik para ilmuwan melakukan percobaan kultur jaringan dari sel-sel janin yang telah dikuret itu. Sel-sel ini disemai di media khusus di laboratorium sehingga diperoleh sel abadi, yang selalu membelah diri, tidak bisa mati dan terjaga konsistensi sifatnya.

Berbeda dengan sel-sel kanker, sel diploid janin manusia memiliki jumlah kromosom yang sama seperti sel-sel normal manusia. Pada tahun 1960-an rubella kongenital yaitu infeksi virus rubella pada wanita hamil menyebabkan banyak janin yang mati dalam kandungan. Pada tahun 1961 di Amerika Serikat, ada janin perempuan berumur 3 bulan yang diserang oleh virus rubella, janin ini kemudian meninggal di rahim ibunya. Janin kemudian dikuret dan atas persetujuan semua pihak digunakan untuk mengetahui rubella kongenital dan mendapatkan cell line yang tepat untuk media virus rubella. Dari sel-sel di paru-paru janin diperoleh strain cell WI-38 yang sangat cocok untuk mengembangbiakkan rubella. Sementara itu pada tahun 1965, di Inggris juga diperoleh strain cell WRC-5 dari paru-paru janin laki-laki berusia 14 minggu yang meninggal di rahim akibat rubella kongenital. Dari kedua strain cell ini, WI-38 dan WRC-5, berhasil dibuat vaksin rubella dengan tingkat efektifitas 95% untuk mencegah kematian dan kecacatan janin akibat rubella kongenital. Strain cell ini juga digunakan untuk membuat vaksin hepatitis A, varicella, zoster, rabies dan adenovirus.

Hingga saat ini saya tidak menemukan adanya vaksin yang dibuat dari SEL babi atau DNA babi.

Jadi, yang saat ini digunakan untuk membuat vaksin di pabrik vaksin adalah sel vero, sel MDCK, sel WI-38 dan MRC-5 ini. Bukan janin-janin atau kera-kera atau anjing-anjing dibunuh setiap hari untuk membuat vaksin. Dan, usia sel-sel inipun sudah jauh lebih tua daripada saya, usia mereka sudah 40 tahun lebih dan mereka hidup terjaga kemurniannya di laboratorium. Pihak gereja Katholik pun akhirnya memberikan ijin atas penggunaan vaksin-vaksin ini. Kabar baiknya saat ini Biofarma berhasil mengembangkan media dari sel tumbuhan jagung, sehingga kita tidak perlu khawatir lagi.

Sumber:





Categories: