Background

#21 -- TANYA JAWAB KERAGUAN VAKSIN - BAGIAN II


Q: Apakah vaksin menyebabkan kanker?

Sebagai manusia saat kita mendengar kata “kanker” tentu saja takut ya, karena langsung terbayang penyakit yang berat.

Kanker telah lama dikenal dalam sejarah manusia. Kanker payudara telah tercatat di lembaran papirus bangsa Mesir pada tahun 3000 SM. Hippocrates yang hidup pada tahun 460 – 370 SM juga telah menjelaskan tentang penyakit ini. Celcus, ilmuwan Yunani, yang hidup antara tahun 25 SM – 50 M juga telah membuat catatan tentang kanker. Istilah kanker sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya kepiting. Insidensi (kejadian) kanker sendiri meningkat semakin banyak pada tahun 1930 – 1990. Kematian dengan penyebab kanker yang cukup banyak ini akhirnya mulai dicatat secara khusus oleh biro statistika Amerika Serikat pada tahun 1930.

Vaksinasi sendiri baru digalakkan oleh WHO pada 1 Januari 1967 untuk menanggulangi wabah cacar variola (smallpox) yang menyebabkan kematian 35% penderita cacar variola dan sisanya buta atau mengalami kerusakan kulit yang sangat parah. Nah, sangatlah tidak mungkin vaksinasi menyebabkan kanker karena kanker sudah banyak bermunculan ribuan tahun sebelum program vaksinasi digalakkan di dunia.

Kanker sendiri penyebabnya ada dua, yaitu genetik (faktor bawaan) dan lingkungan. Faktor lingkungan sendiri salah satunya adalah infeksi. Justru vaksinasi terbukti bisa menyelamatkan dari kanker, seperti vaksinasi hepatitis B sesaat setelah bayi baru lahir akan mencegah terjadinya kanker hati saat bayi dewasa. Infeksi virus hepatitis B yang diderita sejak bayi 90% akan mengakibatkan hepatitis kronis yang merupakan penyebab terjadinya sirosis. Sebanyak 50% kasus sirosis akan berkembang menjadi kanker ganas pada liver.

Pada tahun 2012, di depan konferensi asosiasi peneliti kanker Amerika dipresentasikan makalah yang sangat menarik tentang pemberian vaksin pada anak dengan kanker otak ganas membantu anak memberikan respons bagus terhadap perbaikan penyakitnya. Sel imun anak yang mendapat vaksin tampak bereaksi sangat baik terhadap sel kanker di otak. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan isu yang mengatakan vaksin mengakibatkan kanker, karena justru yang terjadi adalah vaksin membantu sel imun memusnahkan sel kanker.



Sumber:


Kumar et al. 2008. Robbins Basic Pathology, 8th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier

Fauci et al. 2008. Harrisons: Principples of Internal Medicine, 17th edition. McGraw-Hills companies

Goldman et al. 2007. Cecil Medicine, 23th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier

Casiato, Dennis A. 2004. Manual of Clinical Oncology, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.


Q: Benarkah vaksin menyebabkan HIV?

HIV adalah penyakit yang snagat mengerikan. Pada tahun 1981 saat pertama kali ditemukan penyakit HIV AIDS pada kaum homoseksual kemudian pecandu penyalahgunaan obat, orang bertanya-tanya darimanakah asal penyakit yang mengerikan ini. Banyak isu spekulatif seputaran penyakit ini dan pada tahun 1990-an salah satu yang dicurigai adalah vaksin polio oral sebagai penyebar penyakit ini. Pada tahun 1950-an para ilmuwan mengembangkan teknologi kultur jaringan untuk memperoleh media pertumbuhan virus. Salah satunya dr. Hilary Koprowski yang mengembangkan cell line berasal dari kera macaque. Cell line tersebut diduga tercemar oleh virus SIV (simian immunodeficiency virus) yaitu virus menyerang simpanse.

Pada tahun 1992 majalah The Rolling Stone menampilkan artikel yang mendiskusikan kemungkinan vaksin polio Koprowski sebagai sumber penyebaran HIV yang akhirnya mengakibatkan munculnya AIDS. Dokter Koprowski menggugat The Rolling Stone dan si penulis artikel sehingga pada December 1993, majalah The Rolling Stone membuat permintaan maaf dan klarifikasi atas pemberitaan tidak benar yang mencemarkan nama dokter Koprowski.

Artikel tersebut bermula dari seorang jurnalis yang bernama Edward Hooper menulis sebuah buku yang berjudul “The River: A Journey to the Source of HIV and AIDS” pada tahun 1999. Hooper menuduh bahwa cell line yang digunakan untuk pengembangan vaksin polio itu berasal dari sel ginjal simpanse yang terinfeksi SIV. Untuk meredam kehebohan yang terjadi, dilakukanlah penyelidikan yang mendalam dan hasilnya dibuktikan bahwa teori Hooper ini tidak benar:

1. Dilakukan pemeriksaan terhadap sisa vaksin yang digunakan dan tidak terbukti adanya kontaminasi virus SIV pada vaksin.

2.Cell line yang digunakan untuk memproduksi vaksin berasal dari kera, bukan simpanse. Spesiesnya asal cell line-nya saja jelas berbeda. Setiap virus memiliki sel target yang spesifik. Beda spesies berbeda jenis selnya sehingga si virus SIV tidak bisa menginfeksi sel tersebut.

3.Strain virus SIV ini secara genetika sangat berbeda dengan strain virus HIV yang terdapat di daerah tersebut.

Tulisan Hooper ini menyebabkan maraknya teori konspirasi terkait HIV dan vaksin polio, terutama di Afrika. Isu adanya virus HIV dan obat yang mengakibatkan steril pada vaksin polio menyebabkan banyak yang menolak vaksinasi polio di Afrika. Akibatnya kejadian polio di Afrika tetap tinggi.

Ada 2 jenis virus HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2, yang paling banyak ditemui di seluruh dunia adalah virus HIV-1. Virus HIV-2 banyak ditemukan di Afrika. Virus HIV ini memang diperkirakan berkembang dari virus yang dahulunya menginfeksi simpanse (cross-species infection). Kemungkinan terjadinya infeksi silang antar-spesies karena telah terjadi kontak langsung antara manusia dengan simpanse yang terinfeksi yang menghasilkan mutasi genetik munculnya virus HIV.



Sumber:


Fauci et al. 2008. Harrisons: Principples of Internal Medicine, 17th edition. McGraw-Hills companies

Brooks et al. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg Medical Microbiology. 24th edition. McGraw-Hills companies.

Fields et al. 2001. Field’s Virology. 4th edition. Lippincott Williams & Wilkins.



Q: Benarkah vaksin adalah konspirasi Yahudi untuk melumpuhkan generasi lain? Benarkah vaksin digunakan sebagai senjata biologis pemusnahan massal?



Sejak WHO mencanangkan program imunisasi untuk eradikasi penyakit infeksi berbahaya hampir semua negara mewajibkan imunisasi untuk semua bayi yang lahir di daerahnya. Ada 194 negara yang memiliki program imunisasi. Beberapa negara menggunakan kelengkapan jadwal imunisasi sebagai persyaratan masuk sekolah. Di Arab Saudi dan beberapa negara timur tengah kelengkapan imunisasi dijadikan syarat untuk bersekolah dan mengambil akta kelahiran.

Program imunisasi wajib di masing-masing negara berbeda bergantung pada sebaran penyakit yang ada. Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, vaksin BCG tidak ada karena mereka telah berhasil mengeradikasi TBC sebelum arus globalisasi meningkat seperti dewasa ini. Di Belanda memang aturan diperlonggar dengan alasan menghormati hak asasi para penganut anti-vaksin. Di Inggris jika anak yang tidak divaksinasi sakit dan menularkan penyakit ke teman-teman mereka di sekolah maka orang tua si anak akan dipenjara.

Lalu apa kabar negara yahudi israel yang sering dituduh makar vaksinasi? Israel memiliki program vaksinasi yang sangat lengkap dan berhasil dengan angka cakupan sangat tinggi untuk bayi baru lahir hingga anak usia 13 tahun. Dari artikel yang dibuat oleh Kementrian Kesehatan dan dirilis di jurnal ini diperoleh data cakupan imunisasi di israel > 90% semua, yaitu sebagai berikut DTaP-IPV-Hib4 (all 93%), HBV3 (96%), MMR1 (94%), and HAV1 (90%). Sebanyak 93% bayi mendapat vaksin difteri, tetanus, pertusis, polio dan hemofilus influenzae B; sebanyak 96% bayi mendapat vaksin hepatitis B; sebanyak 94% bayi mendapat vaksin campak, gondongan dan rubella; dan sebanyak 90% bayi mendapat vaksin hepatitis A. Pada tahun 2009 mereka memulai program vaksinasi pneumokokus, pada tahun 2010 mereka memulai vaksinasi rotavirus dan pada tahun 2011 mereka memulai vaksinasi human papilloma virus untuk anti kanker leher rahim (serviks). Kenapa angkanya tidak 100%? Karena pada bayi dengan penyakit tertentu seperti defisiensi sistem imunitas, kanker atau penyakit darah ada yang sebaiknya vaksinasi ditunda terlebih dahulu.

Jika vaksin mengandung racun, zat berbahaya dan berpotensi membuat mandul, cacat atau mematikan generasi penerus, maka tidak akan mungkin israel menyediakan program vaksinasi yang super lengkap seperti di atas untuk semua bayi sehat yang lahir di negara tersebut. Kabar baiknya adalah pejuang Muslim Palestina juga memvaksin anak-anaknya agar tumbuh menjadi generasi yang sehat tidak kalah dengan bayi-bayi yahudi di Israel. Muslim Mesir tanah tempat kelahiran pejuang-pejuang tangguh yang berani menolong saudaranya di Gaza juga memiliki vaksin wajib yang ditaati oleh warga negaranya.

Jika di dalam vaksin terdapat obat kemandulan buktinya yang terjadi di Indonesia, negara-negara berkembang dan dunia jumlah penduduk bertambah dengan pesat.



Sumber:

Vaksinasi di israel:






Vaksinasi di Amerika:

Vaksinasi di Inggris:



Q: Apakah vaksin menyebabkan anak lumpuh dan meninggal setelah divaksin?

KIPI adalah kejadian ikutan pasca imunisasi. Biasanya setelah diimunisasi bisa timbul demam, kemerahan atau bengkak di tempat penyuntikan, rewel, dan lain sebagainya sesuai jenis vaksin. Sebagian besar keluhan ini akan menghilang 3 – 4 hari pasca imunisasi. Semua KIPI memang sebaiknya dilaporkan untuk kepentingan surveilans imunisasi.

KIPI berat seperti lumpuh setelah diimunisasi atau meninggal setelah diimunisasi akan diselidiki dengan sangat serius oleh dinas kesehatan dan pihak yang berwajib dengan melibatkan banyak ahli seperti ahli forensik, ahli darah, ahli bedah, ahli anak, ahli penyakit dalam, ahli vaksin, ahli hukum, kepolisian dan banyak ahli lainnya. Tenaga kesehatan yang terlibat juga dikenai status tahanan rumah atau kota. Kasus ini biasanya akan mencuat di media massa yang tentu saja dengan pemberitaan yang tidak seimbang, selalu pihak pemerintah yang disudutkan. Sangat sering kasus yang ada tidak disertai dengan pemberitaan klarifikasi dari dinas kesehatan terkait.

Contoh kasus berikut ini, bayi A meninggal sehari setelah vaksin BCG, setelah diselidiki ternyata bayi sudah sakit infeksi berat sebelumnya dan meninggal akibat sepsis (keracunan darah), tapi jika membaca beritanya memang sangat berat sebelah. Kisah lain, yaitu SB yang lumpuh setelah divaksin polio setelah disidang di Polda Metro Jaya lalu diselidiki ternyata SB ini adalah penderita TBC tulang belakang yang sudah berat. Di Jawa Barat anak lumpuh karena polio setelah diselidiki ternyata dia terkena virus polio liar, bukan virus polio dari vaksin. Sebagian besar kasus KIPI yang dilaporkan bisa ditangani secara tuntas, hanya saja masyarakat tidak mengikuti kasus hingga akhir. Jika ada yang tidak ditangani, maka kemungkinan besar karena kasus tidak dilaporkan.

Kasus KIPI perlu diselidiki apakah itu disebabkan karena vaksinasi atau coincidental. Concidental ini adalah berbarengan ditakdirkan muncul bersamaan dengan vaksinasi, seperti contoh ketiga kasus di atas yang seteah diselidiki ternyata penyebabnya adalah karena penyakit lain. Jika karena vaksinasi, maka akan diselidiki apakah karena kesalahan dalam vaksin (vaccine error), kesalahan pelaksanaan imunisasi (programme error), atau reaksi terkait penyuntikan.

Semua kasus KIPI akan mendapatkan penanganan dan kompensasi dari pemerintah, orang tua bisa menuntut negara atas kejadian ini. KIPI vaksin polio oral yang paling berat adalah kelumpuhan (paralisis), kejadiannya 1 : 2,5 juta – 3 juta dosis. Kasus ini biasanya terjadi pada anak dengan penyakit kelainan darah dan gangguan berupa kelemahan imunitas tubuh. Adalah John Salamone, seorang orang tua yang luar biasa dari seorang anak yang terkena KIPI vaksin polio oral. Anaknya mengalami sindroma paralisis setelah mendapat vaksin polio, namun alih-alih memilih menjadi aktivis gerakan antivaksin beliau lebih memilih untuk mendorong pemerintah (American Academy of Pediatrics dan the CDC) untuk mengganti vaksin polio oral dengan vaksin polio injeksi. Dan beliau berhasil, pada tahun 1996 pemerintah Amerika mengganti vaksin polio dengan jenis lain yang lebih aman meskipun itu berarti pemerintah mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk vaksin ini. Sebab John menyadari bahwa vaksin polio ini penting dan perlu, apalagi virus poliomyelitis belum musnah (eradikasi). Jika terjadi wabah polio kemungkinan lumpuh adalah 1:100 penderita dan tidak milih-milih mau anak yang semula sehat atau yang immunocompromaise (sistem imunnya lemah).

Kejadian KIPI yang berbahaya ini relatif sedikit, dan tidak ada orang yang menginginkannya. Apalagi pihak tenaga kesehatan, jika sampai terjadi KIPI berat mereka juga akan diusut oleh pihak berwajib. Dibandingkan resiko tingkat kecacatan, biaya perawatan dan kematian yang tinggi akibat penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin maka sebaiknya tetap melakukan vaksinasi yang merupakan salah satu ikhtiar terbaik untuk menghindari penyakit tersebut.



Sumber:








Q: Benarkah vaksin akan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga anak mudah sakit?



Isu ini berkembang akibat adanya suntikan vaksin combo, yaitu dalam 1 suntikan terdapat > 2 jenis antigen (vaksin).

Beberapa pihak menantang untuk diadakan penelitian yang membandingkan kualitas anak yang divaksin dengan anak yang tidak divaksin. Jika ada dua kelompok anak (divaksin vs tidak divaksin) kemudian ditempatkan di ruangan dengan penyakit polio, TBC, pertusis, difteri, campak, dan lainnya, hal ini tidak etis karena menempatkan posisi anak yang tidak memiliki kekebalan tubuh dalam zona bahaya. Penelitian semacam ini tidak akan pernah lolos mendapatkan ijin dari Komite Etik. Setiap penelitian yang dilakukan seorang akademisi itu wajib dibawah koridor etika keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan diawasi oleh Komite Etik yang terdiri dari para ahli.

Namun, ada penelitian yang menarik yang dilakukan di Jerman yang membandingkan kualitas kesehatan anak yang mendapat vaksin dengan anak yang tidak divaksin dengan sampel penelitian 13.453 anak. Penelitian ini diterbitkan di jurnal Deutsches Ă„rzteblatt International | Dtsch Arztebl Int 2011; 108(7): 99–104. Hasilnya? Ternyata penyakit infeksi yang tidak spesifik seperti batuk pilek dan penyakit alergi kejadiannya sama pada kedua kelompok. Pada kelompok anak yang tidak divaksin terdapat kejadian penyakit infeksi tidak spesifik dan penyakit alergi.

Vaksin adalah ikhtiar untuk membentuk kekebalan spesifik seperti vaksin polio untuk penyakit polio. Pada penelitian tersebut hasilnya ternyata mendukung keamanan vaksin karena anak-anak yang tidak divaksin tiga kali lebih banyak menderita penyakit campak, gondongan, rubella dan pertusis dibandingan anak yang divaksin. Sebagai informasi di Jerman sudah tidak pernah ditemukan kasus lokal TBC dan polio.

Jadi, isu bahwa vaksin merusak sistem kekebalan tubuh sehingga anak mudah sakit itu tidak benar, karena pada anak yang tidak mendapat vaksin pun juga dijumpai kasus infeksi tidak spesifik seperti batuk pilek dan serta penyakit alergi.



Sumber:





Q: Jangan dengarkan nasehat dokter, mereka dibayar sama pabrik vaksin! Benarkah?



Program vaksinasi yang berhasil adalah vaksinasi cacar variola (smallpox). Penyakit ini sangat menular. Penularan penyakit melalui udara pernafasan, jadi tidak perlu bersentuhan dengan penderita sudah bisa tertular. Jika sampai sakit, efek yang paling ringan adalah wajah menjadi buruk rupa permanen; efek moderat adalah hidup dengan wajah buruk rupa + buta; dan sebanyak 30 - 35% penderita variola langsung meninggal dunia.

Hidup di jaman serba susah seperti ini segalanya memang seolah-olah berkiblat pada uang. Memang budaya neokapitalisme telah menjamur berurat berakar dimana-mana, termasuk di fasilitas kesehatan. Bisnis kesehatan adalah bisnis dengan omzet yang besar. Mari kita berhitung, lebih menguntungkan mana sih dokter mau capek-capek sosialisasi pentingnya vaksinasi agar penyakit musnah (eradikasi) seperti smallpox atau merawat pasien yang sakit macam difteri, pertusis, campak, tetanus, TBC, meningitis, polio itu?

Jika dokter berdagang vaksin paling keuntungannya hanya beberapa puluh ribu hingga ratusan ribu.

Jika dapat pasien difteri, pertusis, campak dan lainnya kira-kira untung berapa ya? Pasien ini adalah kategori pasien sangat menular sehingga harus dirawat di ruang khusus, dengan barang-barang sekali pakai termasuk kasur, bantal, selimut; dengan perawat khusus, belum lagi obat-obatan dan diet khusus. Pasien difteri atau pertusis biasanya dirawat selama 2 minggu. Biaya perawatan sehari bisa mencapai minimal 2 juta, jadi 2 juta x 14 hari = 28 juta! Pernah ada pasien difteri sehari habis 2,5 juta dan dirawat 2 minggu. Dokter dan nakes yang merawat pasien infeksius seperti di balai pengobatan penyakit paru atau rumah sakit khusus infeksi biasanya mendapatkan komisi tambahan sebagai pengganti risiko tertular.

Pasien tetanus dan meningitis biasanya dirawat di Intensive Care Unit. Dulu bayi saya waktu lahir kakinya agak kebiruan sehingga dirawat di NICU. Di NICU bayar 3 juta/hari, itupun Al hamdu lillah bayi saya hanya nebeng pake oksigen. Nah, pasien tetanus dan meningitis bisa lebih dari 1 bulan perawatannya, obat-obatan yang digunakan luar biasa mahal. Jika sembuh dalam 1 bulan saja, maka 3 juta x 30 hari = 90 juta!

Pasien polio lebih parah lagi, selain di rawat secara intensive di ruang isolasi mereka harus rajin fisioterapi agar kelumpuhan yang di derita tidak begitu parah dan kaki mereka tidak bengkok. Asumsi perawatan seperti pasien difteri 2 juta x 14 hari = 28 juta ditambah biaya fisioterapi rutin yang sekali fisioterapi 100 ribu minimal 1 kali seminggu dan pembelian peralatan fisioterapi hingga 1 tahun, berapa kira-kira dana yang diberikan ke rumah sakit?

Pasien hepatitis B jika sampai terjadi hepatitis kronis harus konsumsi obat secara rutin hingga DNA virus hepatitis B menurun, 1 butir obatnya jaman saya masih sekolah dulu harganya 200 ribu. Jika terkena sirosis seperti pak mentri harus cangkok liver di China konon membutuhkan dana 2 milyar. Jika terkena kanker hati, kemungkinan tertolong kecil karena hepatocellular carcinoma ini sangat ganas. Kanker hati akibat bayi terlahir dari ibu yang positif hepatitis B biasanya akan muncul saat anak berusia 20-an tahun.

Untuk pabrik vaksin? Jika program vaksinasi berhasil seperti program vaksinasi smallpox dari tahun 1967 – 1979 menghasilkan smallpox yang musnah (eradikasi), vaksin smallpox tidak dibutuhkan lagi jadi perusahaan vaksin gulung tikar. Untuk saat ini wabah polio, difteri, campak, pertusis muncul lagi akibat aksi menolak vaksinasi yang marak di beberapa daerah. Jadi bisa dipastikan perusahaan vaksin akan tetap berproduksi hingga 20 tahun ke depan. Jika terjadi wabah seperti polio di Jawa Barat tahun 2005 kemarin dan tetanus saat gempa Jogja yang lalu perusahaan vaksin kembali banjir order untuk vaksinasi tambahan, maka semakin banyak penyakit semakin untung bagi pabrik vaksin. Tapi, jika penyakit musnah maka vaksin tidak diproduksi lagi sehingga perusahaan rugi besar.

Jadi, bagi perusahaan vaksin dan dokter kira-kira lebih untung yang mana ya?



Q: Buat apa vaksinasi, toh wabah sudah tidak pernah terjadi lagi



Wabah sudah ada dari jaman dahulu, pada masa Rosululloh pun juga terjadi wabah oleh karena itu ada hadits berkenaan dengan  wabah dan penyakit menular. Sahabat agung Abu Ubaidah ibnul jarrah, meninggal karena wabah tha'un di syam. Beliau kita yakin pasti menjaga diri, baik makanan yang tahyyib dan halal, zaman itu belum ada MSG dan pengawet dan amalnya insyaAllah baik karena beliau adalah "amin hadzihil ummah"/ kepercayaan umat ini dan telah di jamin masuk surga.


Vaksinasi, sebagaimana teknologi buatan manusia lainnya, memang tidak 100% aman dan 100% efektif. Namun hingga saat ini vaksinasi adalah teknologi di dunia kesehatan yang terbaik sebagai ikhtiar untuk memusnahkan (eradikasi) penyakit infeksi.

Fungsi vaksinasi untuk individu adalah membentuk sel memori spesifik (polio ya untuk polio) yang berumur panjang. Sel memori ini fungsinya sebagai provokator, jika suatu saat ada musuh masuk dia akan memprovokatori kerja sistem imun dan membentuk antibodi dalam waktu jauh lebih cepat daripada anak yang tidak memiliki sel memori. Kebetulan musuh-musuhnya itu jenis kuman yang ganas, yang jika tidak segera ada antibodi mereka akan memporakporandakan tubuh. Saat kita beri sel memori melalui vaksinasi ibaratnya kita bekali anak kita yang mau maju perang dengan detektor musuh dan rudal jelajah, tentu saat perang akan lebih menang daripada anak yang telanjang tangan (tidak bersenjata-red). Jadi saat wabah datang anak yang divaksinasi lengkap sesuai jadwal dan booster biasanya akan tidak sakit, jika sakit pun hanya gejala ringan.

Fungsi vaksinasi untuk masyarakat adalah membentuk kekebalan imunitas (herd immunity) dan pemusnahan kuman (eradikasi). Cacar variola dinyatakan musnah pada tahun 1980 karena 67% penduduk di seluruh dunia mau divaksin variola. Vaksinasi bukanlah teknologi dengan jaminan 100%, oleh sebab itu, cakupan vaksinasi diharapkan > 90% artinya harus lebih 90% warga mau divaksin agar tercapai kekebalan komunitas sehingga penyakit bisa musnah (eradikasi).




Benarkah saat ini wabah sudah tidak ada? Karena banyaknya provokasi isu menakutkan tentang vaksinasi, banyak orang memutuskan untuk tidak memvaksin anak-anaknya sehingga herd immunity rusak. Saat ini banyak wabah kembali bermunculan. Bahkan Bordatella pertusis pun bangkit dari kuburnya.

Pada tahun 2005, sebanyak 302 anak-anak Indonesia yang belum divaksinasi lumpuh akibat terserang virus polio. Selama 10 tahun sebelumnya kasus polio sudah tidak ditemukan lagi di Indonesia, namun kemudian muncul KLB di Jawa Barat.




Sepanjang tahun 2011 ini jumlah kasus difteri yang terjadi di Jawa Timur ada sekitar 328 orang dan yang meninggal jumlahnya 11 orang. Diduga wabah ini terjadi karena banyak bayi yang tidak mendapatkan imunisasi DPT (difteri, pertusis/batuk rejan dan tetanus). Dari penyelidikan yang terkena adalah anak yang belum divaksinasi dan anak yang divaksin namun tidak lengkap. Jadi karena isu menakutkan terkait vaksinasi banyak orang tua yang tidak meneruskan pemberian vaksin ke anak. Jika vaksinasi tidak lengkap tentu saja perlindungannya pun tidak terbentuk optimal.






Indonesia terletak di ring of fire (cincin gunung api aktif) dan pertemuan 3 lempeng benua, masih teringat jelas kejadian tsunami Aceh dan gempa Jogja-Jateng lalu. Sistem penanggulangan bencana belum siap untuk mengatasi bencana saat itu. Di Jogja ribuan orang meninggal dan sangat banyak yang terluka seperti kulit dan daging terkoyak atau patah tulang. Saat itu rumah sakit setempat yang juga porak-poranda terkena dampak gempa kehabisan cairan antiseptik dan benang untuk menjahit sehingga pasien terpaksa dijahit menggunakan benang jahit pakaian. Banyak tetanus yang terjadi, terutama kelompok usia lanjut yang belum pernah mendapat vaksin tetanus. Mereka saat itu meninggal bukan karena gempa melainkan karena tetanus pasca terluka akibat gempa. Saat itu guna mencegah perluasan kasus tetanus Menkes mengirim 400.000 vaksin tetanus ke Jogja dan sekitarnya. Begitu sering bencana alam besar melanda negri indah ini, jadi kita sama sekali tidak tahu apa yang terjadi nanti.





Jangan terkecoh dengan berita-berita menakutkan, dunia semakin tua dan permasalahan jaman semakin pelik. Banyak pihak demi kepentingan pribadi menggunakan kampanye hitam anti-vaksinasi. Gerakan ini mendunia. Kenapa vaksin yang dijadikan kambing hitam? Menurut teori konspirasi ala saya yang maniak komik detektif ini (halah), selama ini timbul persepsi berlebihan di masyarakat bahwa vaksin akan “memberi perlindungan seumur hidup”. Nah, jika vaksin digembar-gemborkan mengandung bahaya bagi kemanusiaan maka otomatis para orang tua akan menolak vaksin. Orang tua akan galau, mereka butuh “sesuatu-pengganti-vaksin” yang akan memberikan perlindungan bagi anak-anak mereka. Kemudian tiba-tiba ada yang muncul menawarkan solusi pake ini, pake itu, beli ini, beli itu, pelatihan begini, pelatihan begitu dan lain sebagainya.



Kesimpulannya:

Vaksinasi itu mubah dalam agama Islam dan sangat dianjurkan oleh pemerintah dan WHO.

Tidak vaksinasi juga boleh.

Namun, tidak vaksinasi lalu menjadi provokator menakut-nakuti masyarakat awam dengan ilmu yang salah itu yang tidak benar.



Al hamdu lillah, tuntas sudah kebimbangan kami. Semoga ringkasan yang panjang dari data-data yang telah kami peroleh ini bisa membantu para orang tua yang juga bimbang seperti kami.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83]

Tafsir ayat di atas:

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah dan [pemerintah] yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuwan, peneliti, penasehat, dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya. [Taisir Karimir Rahman hal. 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H]



Allaahu a'lam bish-showwab

Categories: ,