Background
1. Mengapa vaksin BCG yg cukup tinggi cakupannya saat ini masih belum mampu mencegah infeksi TB??? --> Menurut WHO TB merupakan ancaman kesehatan global dengan perkiraan kasus mencapai 8,7 dewasa ini, dan menimbulkan kematian 1,4 juta jiwa per tahun.

JAWAB: Jangan dipelintir budok gigi. Vaksin BCG paling efektif untuk mencegah TB meningitis atau TB milier pada anak, sedangkan untuk mencegah TB paru efektivitasnya bervariasi antara 0-80%, jadi memang tidak kebal 100%. Jadi wajar kalo kasusnya masih banyak dan masih menjadi masalah kesehatan global. Coba kalo disajikannya data tentang efektivitas vaksin BCG untuk pencegahan TB meningitis atau TB milier. Nih Admin kasih jurnalnya ... Dibaca ya budok, ‘kan katanya thinher eh thinker:

- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8144299
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16616560
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16826312
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15628980
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16227549

2. Mungkin sudah saatnya tidak berharap pada vaksin semata2 untuk pencegahan. Perbaiki nutrisi, perbaiki sanitasi, perbanyak edukasi.

JAWAB: Bu dokter, usaha untuk menurunkan angka kejadian penyakit infeksi itu harus menyeluruh. Perbaikan nutrisi, sanitasi, edukasi, dan vaksin itu semuanya saling melengkapi, namun tidak saling menggantikan. Kalau logika budokter seperti itu, berarti negara2 maju kayak Eropa Barat dan Amerika harusnya g ada vaksin dong? Kan mereka nutrisi tercukupi, sanitasi terjamin kesehatannya, mau kurang apa lagi? Oleh karena itu, tidak ada satu pun provaks yg berharap pd vaksin semata2. Vaksin hanya salah satu usaha sj. Anak vaksin lengkap tapi malnutrisi tetep sj rentan trhdp penyakit infeksi. Sebenernya aneh jg sih njelaskan hal sederhana seperti ini ke bu dokter.

3. Kesimpulannya vaksin yg sekarang ada belum cukup efektif gitu?? Pantes angka TB pada bayi meningkat ya?? Di mana2 dgr baby kena flek paru, atau TB ... klo jaman dulu jarang bgt yah dgr, paling yg udah aki2 atau yg perokok berat gitu ...

JAWAB: Ciyusss ... Ini salah vaksin BCG? Ato salah guwe? Salah temen-temen guwe? Mbak mbak, namanya juga usaha. Kalo usahanya belum berhasil, ya tetep harus usaha dengan cara lain yang lebih efektif. TB pada bayi biasanya ditularkan oleh penderita TB orang dewasa. Kalo angka TB pada bayi meningkat bisa jadi angka TB pada orang dewasa juga meningkat, pengobatan TB pada orang dewasa yang kurang berhasil, dsb.

Nah, usaha para ilmuwan untuk menekan angka TBC ini ya salah satunya mengembangkan vaksin baru sebagai pengganti vaksin BCG. Ini admin kasih jurnalnya di kanan bawah. Berdasarkan artikel tersebut, sampai saat ini sudah ada 15 kandidat baru vaksin TB yg sudah masuk uji klinis fase 1 dan 2. Teknologi yg digunakan pun bermacam2, tidak hanya bakteri yg dilemahkan sj, tapi juga menggunakan “vector” atau “sub-unit vaccine” utk merangsang respon imun spesifik trhadap TBC. (Jadi ingat “calon dokter” yg katanya vaksin itu terbuat dari darah dan nanah???)

Dari artikel tersebut, setidaknya ada beberapa pesan penting yg harus diketahui:

a) Vaksin terus-menerus di-evaluasi keamanan dan keefektifannya. Kalau memang terbukti kurang optimal, misalnya pada vaksin BCG ini, maka para ilmuwan tidak akan berhenti untuk mencari vaksin baru yg lebih efektif.

b) Namun, vaksin baru ini juga harus melewati tahap uji yg kompleks, karena harus: aman dan efektif. Kalau g efektif (kayak vaksin yg di-uji ini), ya jangan harap bisa dikasih ke bayi. Vaksin “lama” mungkin akan diganti ketika ditemukan vaksin baru yg lebih efektif. Di sini juga ada pelajaran ttg kaidah penting meneliti yaitu: KEJUJURAN. Kalau g terbukti efektif ya laporkan apa adanya, jangan coba2 ngubah2 data.

4. Iya yah..jd kepikiran..kenapa vaksinnya gak di uji cobain ma bayi2/anak2 mereka yg bikin vaksin ajah yak?kenapa harus bayi2 sehat di Afrika?WHYYYY?..kira2 mereka yg PRO ma Vaksin mau gak yah kalo anak2nya jd Volunteer Uji coba Vaksin ini?Mau gak yaaaah???

JAWAB: Lah,,, yg diuji kan “preventive/prophylactic vaccine” bu, yaitu vaksin yg dtujukan untuk pencegahan. Makanya dites pd anak sehat di Afrika. Kenapa Afrika? Lha mau diujikan ke mana? Amerika? Kutub Utara? Lha yang jumlah penderita TB-nya masih banyak daerah mana? Ini nih susahnya kalau yg berpendapat nggak ngerti epidemiologi, dan g ada yg meluruskan (termasuk budok gigi yg posting kok diem aj ada temennya gagal faham begini?) Kalo diujikan di Amerika Serikat sana, kira-kira bisa ga dilihat efektivitas pencegahannya, sedangkan jumlah kasus TB-nya saja sedikit? Mau follow-up berapa puluh tahun kalau diuji di Amerika?

Nah, kalau yg diuji itu “therapeutic vaccine” (vaksin utk pengobatan), barulah diuji pada penderita TBC utk mengetahui bagaimana efektifitas vaksin untuk meningkatkan kekuatan sistem imunitas mengusir kuman TBC yg sudah lamaaa banget bersarang di paru-paru dan tidak bisa diusir sama sistem imun penderita. Aduh,,, jangan2 pd nggak ngerti kalau ada “therapeutic vaccine” ya???

5. Kasian bayi2 ituuuu .... :cry: :?

JAWAB: Lagi, ini nih kalau nggak faham bagaimana uji klinis dilakukan. Jadi membayangkan kalau namanya uji klinis itu seolah2 anak bayi yg dipermainkan kayak binatang. Mungkin nggak pernah tahu (apalagi mengalami sendiri) susahnya mendapatkan ijin untuk melakukan uji klinis. Untuk uji klinis fase satu saja, yg notabene jumlah subjeknya terbatas, bisa 1-2 tahun mengurus ijinnya di Komite Etik (Kok jadi inget dosen antivaks yg seenaknya melakukan penelitian tanpa persetujuan Komite Etik ya???). Harus bisa menjelaskan manfaatnya, risikonya terhadap subjek, termasuk risiko ke lingkungan sekitar (jika ada), antisipasi hal2 yg tidak diinginkan bagaimana, de el el. Bahkan, ada uji klinis fase 2 yg selama 2 tahun lebih hanya berkutat masalah perijinan ini di Komite Etik. Bandingkan dengan “uji klinis” ala USA yg langsung nyuntikkan minyak habbatus sauda ke pembuluh darah sendiri. Siapa yg ngawasi? Anda mau jadi subjek penelitiannya USA?

Gan, admin tidak melarang agan-agan sekalian berpikir kritis, tapi ya kl memang gagal paham, jangan kumpul bocah begini Gan. Silahkan tanya sama yg lebih ngerti, yg lebih ahli, jgn malah saling bikin gagal paham kayak yg diskrinsut ini ... Jadinya ini ni Gan, gagal paham tingkat galaksi.

Reference:

Parida SK, Kaufmann, SHE. 2010. Novel tuberculosis vaccine on the horizon. Curr. Op. Immunol. 22: 374-84.


gan..gan..ini lho, ada lagi yang unyu2 dari grup tetangga sebelah..kayaknya baru seneng bangeet dapet jurnal. Kayaknya baru dapet dari googling pake keyword autoimmunity and immunization, hihihi.

gak dikasi keterangan apa2 sama si Bapak yang terkenal sebagai antivaks itu, tapi...jaga2 deh, takut salah paham. Ini kalau agan penasaran, cekidot
http://www.plosone.org/article/info:doi/10.1371/journal.pone.0008382
Betul kok, gan. Jurnal ini bukan HOAX, tapi sharing sedikit resumenya gini lho gan.

Jurnal ini mencari tahu dan membahas teori mekanisme baru terjadinya penyakit autoimmun. Dulu autoimmun dihipotesiskan salah satu mekanismenya terjadi akibat cross-reactivity antigen terhadap kuman, artinya antibodi tubuh kita salah mengenali antigen tubuh kita sebagai antigen kuman karena kemiripannya.
Nah jurnal ini melaporkan bahwa, eksposure terhadap kuman (virus, bakteri, dll) berulang kali dengan KEKUATAN PENUH bisa juga menyebabkan autoimmunity melalui mekanisme over stimulasi. FULL POWER and OVERLOAD DOSAGE..itu INTINYA. BACA TELITI Yaaaa.

Jurnal ini memaparkan sebuah model SIMULASI eksposure antigen berulang di manusia dengan melakukan imunisasi berulang pada TIKUS, DENGAN DOSIS OVERLOAD atau bisa disamakan dengan seseorang menerima PAPARAN INFEKSI FULL POWER berulang-ulang, sebagaimana disebutkan tuh pada bagian”discussion” jurnal penelitian ini. 
“Ini terjadi pada populasi anak muda yang YANG TIDAK MENERIMA VAKSIN MEASLES”—itu tuuuu ibu ibu yg PeDe bilang mending terinfeksi ALAMI saja, supaya dapat kekebalan ALAMI. Memangnya kalau mendapat kekebalan dari vaksin, itu kekebalan palsu? Aduuuh, yang ada pemahaman palsu kalee... 
Ini agan kopas asli penjelasan di atas, yang disebutkan di Jurnal yg sama, 
--duh si Bapak yg share, udah baca belum yaaaa
"Living organisms are constantly exposed to a broad range of environmental antigens, as exemplified by the recent re-emergence of measles virus infection among a subpopulation of Japanese young adults who were not vaccinated against the virus. We therefore conclude that systemic autoimmunity necessarily takes place when host's immune ‘system’ is overstimulated by external disturbance, i.e., repeated exposure to antigen, to the levels that surpass system's self-organized criticality, and propose here ‘self-organized criticality theory’ explaining the cause of autoimmunity"

Jadi Gan,
kalau dibaca2, jurnal ini TIDAK untuk membuktikan bahwa imunisasi dg vaksinasi menimbulkan respon autoimun, tp imunisasi secara berlebih (overload) dg FULL POWER atau yg ibu2 sekalian sering diistilahkan sebagai IMUNISASI ALAMI BISA mengakibatkan autoimun response. 

Dari metodologi penelitiannya, Penelitian ini pastinya tidak bisa dianalogikan dgn pemberian vaksinasi pada human atau bayi, ambil contoh saja perhitungan dosis yang diberikan. Kalau pada manusia, tentnya sudah diperhatikan (misal) berapa banyak dosis antigen yang diberi ntuk menimbulkan respon innate immunity, termasuk hitng2an adjuvantnya

Dan ingat, harus dibedakan antara autoimmun respon yang merupakan respon yang terjadi umum pada orang sehat dengan autoimmun disorder / disease. Untuk autoimmune disease, sampai saat ini belum ada penelitian yang valid secara eksperimental dan epidemiologi untuk mengatakan bahwa vaksinasi mengakibatkan autoimmne disorder, masih case per case. Cekidot jurnal pembanding ntuk referensi -nya ya gan..

http://image.thelancet.com/extras/02art9340web.pdf

—betewe busway, supaya mencegah dari si bapak dari kegagalpahaman yg selama ini dia sebarkan sebelumnya? Maka mimin duluin deh mbahas jurnal ini. Mumpung mimin lowong waktunya..pas imlek lagi..hihihihi..kayaknya Mimin juga belum pernah dengar kalau si Bapak mengklarifikasi kegagalpahaman yang sebelum-belumnya.

Akhir kata...
Agan agan sekalian, 
jurnal itu bisa diAKSES SIAPA SAJA, TAPI TIDAK SIAPA SAJA bisa PAHAM.
Jangan sombong untuk TANYA kepada yg lebih paham.
Jangan cuma skimming cari kata "immunization" "injury" "damage" terus kopas sana sini pakai PEMAHAMAN yg SALAH.
Gak takut sama pertanggungjawaban di hari akhir, yg sering Bapak sendiri ingatkan kepada orang lain?

wallahu a'lam

dikutip dari: 
https://www.facebook.com/notes/umm-hamzah/vaksin-dalam-tinjauan-islam/10150347167152710

oleh : Umm Hamzah

Imunisasi adalah masalah ijtihadiyah, maka sikapilah masalah ini sebagaimana menyikapi masalah ijtihadiyah lainnya. Hal ini perlu ditegaskan berhubung adanya sebagian kaum muslimin yg bertanya-tanya tentang status halal haram vaksin tetapi tidak mendapatkan informasi yg diinginkan.
Adapun tuduhan bahwa imunisasi adalah konspirasi Yahudi internasional atas bangsa muslim masih perlu ditelusuri dengan seksama kebenarannya. Islam bukan agama tuduh menuduh tanpa pembuktian yang sahih berdasarkan firman Allah :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat [An Nisaa : 58].
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan [Al Maa'idah : 8].
Kalau pun tuduhan konspirasi itu benar, maka masih perlu di tinjau kembali status hukum syar’inya.
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi penting diketahui terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut [5] :
1. Istihalah
Istihalah adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.9
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khamr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.

Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhahiriyyah[10], salah satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Inul Qoyyim, asy-Syaukani[13], dan lain-lain.[14]
Imam Ibnul-Qoyyim berkata : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”[15]

2. Istihlak
Istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci?
Bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut :
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).

Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[16]
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khamr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khamr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuan.”[17]

3.Darurat dalam Obat
Dharurah (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[20]

4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.[20]
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :
“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”[21]

5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.Berobat dengan khamr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :
“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat.22
b.Berobat dengan benda haram selain khamr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah : “… Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….” (QS. Al- An’am [6]:119)
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.

Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25

6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan beberapa fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :
a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26

b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27

c. Fatwa Ketua Dewan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya : Bagaimana hukum berobat dengan imunisasi (mencegah sebelum tertimpa musibah) ?
Jawaban.
La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Juga tidak masalah untuk menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, artinya : “Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
Tapi tidak boleh berobat dengan menggunakan jimat-jimat untuk menghindari penyakit, jin atau pengaruh mata yang jahat. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari perbuatan itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan bahwa hal itu termasuk syirik kecil, sehingga sudah kewajiban kita untuk harus menghindarinya. 28.
d. Mufti ‘Am Kerajaan Arab Saudi
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, pada hari jum’at, tgl. 14 Dzulhijjah 1429 H. Beliau ditanya:
“Wahai Syaikh, ada imunisasi jenis tertentu yg salah satu bahannya adalah babi tetapi setelah diproses bahan tersebut tidak ada, apa hukumnya?”
Syaikh menjawab : ”Hal itu tidak mengapa”
Turut menyaksikan soal jawab tsb Ustadz Anwari Ahmad dan Ustadz Aris Munandar. (ibnuabbaskendari ).

Daftar Referensi
1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.
2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.
3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H
4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
5.dan lain-lain

Catatan Kaki :
1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-8
2.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.
3.Sumber: medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.
4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22
5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)
6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/26
7.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369
8.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.
9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/210
10.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/422
11.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/503
12.Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm. 23
13.Sailul-Jarror: 1/52
14.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.
15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/394
16.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.256
17.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/173
18.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 84
19.Qowa’idul-Ahkam hlm. 141
20.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/231
21.Qowa’idul-Ahkam hlm. 60
22.Syarh Shahih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/205
23.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/426
24.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/605
25.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187.
26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.
27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
28. Fatawa Syaikh Abdullah bin Baaz**. Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427/2006M. Dikutip dari kitab Al-Fatawa Al-Muta’alliqah bi Ath-Thibbi wa Ahkami Al-Mardha, hal. 203. Darul Muayyad, Riyadh.

[Dirangkum dari beberapa tulisan dan pernyataan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dg sumber utama tulisan beliau di : Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke - 8 1429 H/2008 M]

Tambahan :
Perihal penggunaan bahan haram dalam proses pembuatan obat dan bahan sejenis obat, telah dibahas pula dalam sebuah pertemuan antara WHO dengan pemuka-pemuka agama Negara-negara Arab dan sekitarnya. Berikut salinan pertemuan tersebut.
http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.immunize.org%2Fconcerns%2Fporcine.pdf&h=a4e65

Semoga bermanfaat.


Lagi, paham "sepertinya" dalam menerjemahkan dan menganalisis jurnal.

Katanya "We're excited about this finding because the immune cells in mucosal compartments can cross-talk and traffic between compartments," Permar said. "So the antibodies we found in breast milk indicate that these same antibodies are able to be elicited in other tissues." itu bisa disimpulkan jadi 
''SEPERTINYA ASI yang berasal dari ibu HIV negatif juga bisa menghasilkan antibodi tersebut.'' :))

Lah dari mana pula kesimpulan begitu? Ceki-ceki dulu sumbernya Gan! Nih link artikelnya 

http://www.dukehealth.org/health_library/news/newly-discovered-breast-milk-antibodies-help-neutralize-hiv

Ini link jurnal aslinya :
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0037648

Mau dibaca sampai tahun depan kagak ada kata-kata yang bisa disimpulkan seperti itu. Yang ada malah ini:

1. Di bagian metode : “We isolated B cells from colostrum of an HIV-infected lactating woman with a detectable neutralization response in milk and recombinantly produced and characterized the resulting HIV-1 Envelope (Env)-specific monoclonal antibodies (mAbs).”
>> Yang diambil kolostrumnya adalah IBU MENYUSUI YANG TERINFEKSI HIV. Jadi kagak ada WANITA HIV NEGATIF yang jadi subjek dalam penelitian ini. Nah, kalau gitu kagak bisa dong diambil kesimpulan tentang ibu HIV NEGATIF, kan kagak diteliti?
Atau ada ibu-ibu yang mau diinfeksi HIV secara ALAMI dulu? :)) 

2. Di bagian diskusi "As most HIV-1 transmission occurs via mucosal barriers, the study of effective mucosal B cell responses is critical to the design of HIV-1 vaccine candidates that will elicit protective antibodies from mucosal B cell populations. " >>Malah dibilang penelitian ini penting sebagai pengembangan VAKSIN HIV-1 Gan! :))

Atau, apa dikiranya 'other tissues' itu diterjemahkan jaringan orang lain yak? :)) 
Kalau ente baca kalimatnya baek-baek dan ngerti bidang penelitian ini, pasti tahu itu artinya 'jaringan lain' (pada orang yang sama) :))


Kesimpulan : GAGAL PAHAM (maning) #godzillafacepalm#

Rasulullah SAW pernah berpesan:
"Ilmu itu ada tiga bahagian: Kitab yang berbicara, Sunah yang berdiri tegak dan la adri (aku tidak tahu)".(Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar, hadis marfu').

Asy-Sya'bi berkata, "La adri (Tidak tahu) adalah setengah daripada ilmu.Siapapun yang berdiam diri kepada perkara yang tidak diketahuinya karena Allah taala, maka tidak akan berkurang pahalanya berbanding orang yang berkata-kata dalam keadaan tidak tau/paham, Karena mengaku bodoh adalah perbuatan yang berat bagi seseorang itu."


Untuk yg mengira ulama gak tau ada bahan-bahan najis yg mengalami istihalah dalam proses pembuatan vaksin / tindakan vaksinasi, silahkan liat screenshot ini baik-baik. Ya Gan, bahkan Ulama menggunakan prinsip Evidence Based, bukan testimonial bukan pula mengaku-ngaku "Allah Based Medicine"
Masih mau ngikut ulama atau mau buat fatwa sendiri?

Sumbernya cekidot di sini Gan :
http://www.alifta.net/Search/ResultDetails.aspx?lang=en&view=result&fatwaNum&FatwaNumID&ID=187&searchScope=17&SearchScopeLevels1&SearchScopeLevels2&highLight=1&SearchType=exact&SearchMoesar=false&bookID&LeftVal=0&RightVal=0&simple&SearchCriteria=allwords&PagePath&siteSection=1&searchkeyword=086097099099105110101#firstKeyWordFound

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُم ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ سَيْئًا وَأَنْ تَعتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّ قُواوَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَشْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ


Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (BERKATA TANPA BERDASAR), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [HR. Muslim]

Miris melihat realita bahwa masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan informasi yang benar tentang vaksin yang diberikan saat BIAS dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin tersebut dan terjadilah salah kaprah selama bertahun tahun dan turun temurun, seperti contoh dibawah ini dimana ada sekelompok masyarakat membicarakan informasi yang salah mengenai BIAS, menurut KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1059/MENKES/SK/IX/2004, vaksin yang diberikan dengan gratis saat program BIAS adalah vaksin untuk penyakit campak, diphteri, tetanus. Dalam sejarah program BIAS di Indonesia belum pernah diberikan vaksin cacar baik variola maupun varicella.

Vaksin yang diberikan pemerintah sejak tahun 1956 (sumber http://infoimunisasi.com/vaksin/sejarah-imunisasi-di-indonesia/ ) sampai akhir tahun 70an adalah vaksin cacar (variola) jadi bukan cacar air atau varicella, variola dan varicella sangat berbeda, Saat ini variola sudah tidak ditemukan lagi dimuka bumi, dan WHO sudah menghentikan pemberian vaksin variola

In 1979, WHO recommended that vaccination against smallpox be stopped in all countries, the only exception being special groups, such as researchers working with smallpox and related viruses. By 1982, routine vaccination had been officially discontinued in 149 of the 158 member countries of WHO. By 1986, routine vaccination had ceased in all countries, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/index.html

Perlu diingat juga bila polio diberikan saat Pekan Imunisasi Nasional bukan di BIAS.

Sudah jelas bukan informasinya?

Ayo menjadi masyarakat cerdas, WAJIB BELAJAR, jangan mudah percaya informasi, BACA dan BELAJAR. Jadi perlu diingat sekali lagi bahwa saat ini sudah tidak ada lagi pemberian vaksin cacar (variola), dan pemerintah belum pernah memberikan secara gratis vaksin cacar air (varicella). Baca dan pelajari perbedaan antara variola / smallpox (cacar) dan varicella / Chickenpox (cacar air), baca juga apa dan bagaimana measles atau rubeola, roseola, rubella, BELAJAR biar tidak terjadi SALAH KAPRAH.AYO SUKSESKAN PELAKSANAAN BIAS DI INDONESIA!!!

Sebenernya ini postingan lama dokter HZ agan2, tapi karena butuh waktu untuk “melacak” sumber aslinya, baru bisa terbongkar sekarang kedustaan dokter kita yang satu ini.

Jadi ceritanya, si oknum dokter ini posting2 dengan meng-aplot dua gambar grafik yg menunjukkan bahwa wabah mumps (=gondong) dan chickenpox (=varicella atau cacar air) justru mayoritas terjadi pd anak2 yg divaksin gan, masing2 92 dan 86 persen. Nggak maen2 gan, di gambar itu disertakan juga “bukti shahihnya” dari “Center for Disease Control MMWR 55(20) May 26, tahun 2006, pp. 559-63” (utk grafik mumps) dan jurnal terkenal “Pediatrics vol. 113, no. 3, pp. 455-459, tahun 2004” (utk grafik chickenpox). Lihat yg dikasih kotak merah. Kayaknya gambar ini diambil dari file presentasi HZ yg berjudul "ASI sbg vaksin alami.pptx" yg ada di tabletnya (dari tampilan screen-nya bisa nebak 'kan gan, tablet apa?).

Admin nguplek2 kedua sumber yg disebutkan di atas, g ketemu grafiknya gan. Kan g mungkin dokter HZ “rajin” terus bikin grafik sendiri. Ealaaaahhhhhh,,, ternyata oh ternyata, sumber inspirasinya terindikasi bukan dari kedua referensi yg disebutkan di grafik, tapi di sini gan (bisa di-donlot langsung pdf-nya):

http://genesgreenbook.com/resources/Natural_Infectious_Disease_Declines_Immunization_Effectiveness.pdf

Itu kalau agan2 buka link-nya, ternyata si HZ ini terinspirasi dari “makalah” karya pentolan antivaks Kanada, pakde Raymond Obomsawin, PhD yg judulnya “Immunization Graphs: Natural Infectious Diseases Decline, Immunization Effectiveness and Immunization Dangers”. Kalau mau kenalan sama pakde Raymond ini, bisa dilihat di sini gan, ada fotonya juga:

http://www.prpeak.com/articles/2012/01/05/news/doc4f0397e64d4d2601828399.txt

Kalau agan2 udah donlot dan lihat makalah sejumlah 30 halaman itu, di halaman 17 agan2 akan nemu gambar yang mirip dgn yg diposting dokter kita ini! Bedanya hanya yg chickenpox (varicella), kalau di sini ditulis 86 dan 14 persen, di makalah pakde Raymond lebih gila lagi gan: 97 persen pd anak divaksin, 3% pada anak yg tidak divaksin. (Nanti dijelaskan darimana munculnya angka2 itu) 

Kita bahas dulu makalah pakde Raymond ini gan. Makalah ini isinya menunjukkan kegagalan, ke-tidak-efektif-an dan bahaya2 vaksin dgn disertai “sumber2 rujukan berupa jurnal yg terpercaya”. Bagi orang awam yg gak biasa (dan nggak bisa) ngecek lgsg ke sumber aslinya kayak yg disebutkan pakde Raymond ini, bisa “ketipu” dan jadi antivaks gan. Lha gimana g ketipu, lha wong yg disebutkan aja sumber2 jurnal ilmiah sekelas Lancet, Pediatric, NEJM, de el el. Padahal grafik2 yg dibuat pakde Raymond ini hanya tipu2 alias dusta, mlintir2 isi jurnal untuk mendukung antivaks-nya, atau istilah kerennya “intellectual dishonesty”. 

Untunglah, sebagian makalah si Raymond sudah dibongkar kedustaanya di link2 berikut ini gan. 

http://scienceblogs.com/insolence/2010/03/29/the-intellectual-dishonesty-of-the-vacci/

http://www.pathguy.com/antiimmu.htm

Kalau agan2 baca 2 link di atas, beliau2 membongkar dan menunjukkan ke publik letak ketidakjujuran alias kedustaan pakde Raymond ini dgn mengecek langsung ke jurnal2 aslinya yg disebutkan pakde Raymond sbgai referensi grafik2 di makalahnya. 

Nah, sekarang admin buktikan satu saja kedustaan pakde Raymond yg kemudian diikuti dokter HZ ini yg belum dibahas di dua link di atas. Pada grafik bawah yg bilang wabah chickenpox itu 86%-nya terjadi pd anak2 yg divaksin dgn menyebutkan sumber “Pediatrics vol. 113, no. 3, pp. 455-459, tahun 2004” (yg admin kasih kotak merah di kanan bawah), admin berhasil mendapat jurnal aslinya. Linknya -termasuk full text- ada di sini gan:

http://pediatrics.aappublications.org/content/113/3/455.abstract

Admin tampilkan gambar yg kiri bawah di kotak biru utk dapetin cerita sesungguhnya dari jurnal aslinya sebelum dipelintir sama pakde Raymond dan juga dokter HZ.

Jadi gan, jurnal ini sebenernya ingin melihat efetifitas vaksin varicella yg diberikan sebelum wabah, shga 8 anak di-keluarkan dari analisis karena divaksin saat wabah terjadi. Shg total 414 kasus yg “dicurigai” varicella, lalu dianalisis dan dilacak apakah memang benar varicella atau bukan. Peneliti ingin melihat kasus varicella pd anak2 yg “belum pernah terinfeksi varicella sebelumnya”, baik pd anak yg divaksin maupun yg tidak divaksin karena memang ingin melihat efektifitas vaksinasi varicella. Dari 414 kasus yg dicurigai itu, 218 (52%) anak belum pernah terkena varicella sebelum wabah terjadi shg dianalsis lebih lanjut. Dari 218 anak ini, 211 anak (97%) divaksin sebelum wabah, dan 7 anak (3%) tidak divaksin sebelum wabah. Dari sini, muncullah angka 97 dan 3 persen pada makalah Raymond. Jelas nipu kan gan? Karena 218 kasus itu baru "dicurigai varicella" dan belum bener2 terbukti varicella. 

Nah, setelah dilakukan investigasi, yg “benar2 terkena” (= "cases") varicella "hanya" 21 anak, yg tersebar di 9 kelas (affected classrooms), dgn jumlah murid total 159 murid. Nah, dari 21 kasus itu, 18 anak (86%) divaksin, 3 anak (14%) tidak divaksin. Dari sini muncullah angka 86% dan 14% pd grafik dokter HZ (yg belum terlacak dia dapetnya darimana grafik ini). Ya jelas lagi2 ini penipuan gan, sama kayak temennya yg di Kanada itu. Karena kalau disajikan seperti itu datanya, jelas prosentase anak yg divaksin lebih besar, KARENA JUMLAH ABSOLUT ANAK YANG DIVAKSIN JAUHHHHH LEBIH BANYAK (211 vs. 7 anak).

Jalan berfikir ilmiah yg dilandasi kejujuran akan menampilkan data seperti ini (sbgmn yg ditampilkan di jurnal): jumlah total murid di 9 kelas itu ada 159 anak. Dari 159 anak itu, 152 anak divaksin, sedangkan 7 anak tidak divaksin. Dari 152 anak (100%) yg divaksin, 18 anak (12%) terkena varicella. Sedangkan dari 7 anak (100%) yg tidak divaksin, 3 anak (43%) terkena varicella. Sehingga angka kejadian varicella pd ANAK YANG DIVAKSIN sebesar 12%, sedangkan pd anak YANG TIDAK DIVAKSIN sebesar 43%. Lihat beda angka 12% vs. 43%. Dari sinilah disimpulkan bahwa efektifitas vaksin varicella sebesar 72%. Mudahnya, "Kalau ingin melihat efektifitas vaksin, lihatlah perbedaan angka kejadian penyakit tertentu (sesuai vaksinnya) pd kelompok anak yg divaksin dan angka kejadian pd kelompok anak yg tidak divaksin". Orang awam pun akan mudah memahami kok dgn logika sederhana seperti ini.

Lalu penelitinya meng-investigasi lebih lanjut dengan melihat catatan rekam medis dan juga wawancara ke orangtua si anak untuk melacak "kapan" mereka muncul gejala. Hasil investigasi disajikan di figure 2 yg tidak bisa ditampilkan di sini karena tidak muat :) 

Ternyata, dari 21 kasus varicella saat wabah, 3 kasus pertama terjadi pada tanggal 30 Oktober 2001 dan mereka adalah 3 anak yg TIDAK DIVAKSIN itu tadi gan! Peneliti sudah berusaha mencari darimana sumber penularan varicella pd 3 anak yg tidak divaksin itu, tapi g ketemu (unidentified). Jadi jelas ya gan, wabah varicella PERTAMA terjadi pd 3 ANAK YANG TIDAK DIVAKSIN, kemudian MENYEBAR pada 18 anak lainnya YANG SEMUANYA DIVAKSIN. 

Dari penjelasan ini, jelas ‘kan agan2 tentang kedustaan pakde Raymond yg kemudian diikuti oleh dokter Henny Zainal? (sebenernya admin berat juga sih ngetik kata “dokter” di depan nama HZ). Jadi bagaimana dokter Henny Zainal, masih mau terus-menerus menebar kedustaan dan menipu orang awam yg nggak bisa akses jurnal secara langsung? Dan kalaupun bisa akses, mereka kesulitan memahami karena keterbatasan bahasa Inggris dan sebab2 lainnya? Entah di mana dan kepada siapa Anda presentasikan data2 seperti ini SEBELUM Anda posting di fesbuk Anda?

Tidak takutkah dokter dengan ancaman Allah Ta’ala ini (yang artinya):

”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl : 105)

Dan juga hadits ini,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya kedustaan akan membawa kepada kefajiran (=tidak taat kepada Allah Ta’ala). Dan kefajiran itu akan membawa kepada neraka. Seorang hamba yang berdusta dan terus-menerus berdusta sehingga akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim).

Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadanya, dan juga kepada kita semuanya. Amin.



Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif dan berdampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan itu maka kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang pula oleh upaya perbaikan produksi vaksin dengan meningkatkan efektivitas dan keamanan vaksin.

Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam upaya pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas (daya pembentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang vaksin). Vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun penerima sehingga tercapai nilai antibody di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan untuk tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan gejala klinis penyakit secara alami. 

Pada kenyataannya belum ada vaksin yang benar-benar ideal, namun kemajuan bioteknologi saat ini telah dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman. Seiring dengan cakupan vaksinasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat dan sebagai akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan. Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal tidak dapat ditentukan. Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi yang merupakan kegiatan dari sistem pemantauan (surveilans) KIPI. Hasil pemantauan akan dianalisis dan diberikan umpan-balik kepada pembuat keputusan program imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, untuk menjamin keamanan imunisasi dan memberikan perlindungan pada sasaran imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang efektif.

Penanggulangan KIPI dilaksanakan secara komprehensif meliputi penanganan medik terhadap kasus KIPI hingga memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi. Untuk menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan KIPI tersebut dibentuk Komite Nasional Penanganan dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI). Komnas PP-KIPI merupakan suatu komite independen di tingkat nasional yang terdiri dari unsure-unsur klinisi, pakar dalam bidang mikrobiologi, virology, vaksin, farmakologi, ahli epidemiologi, ahli forensic, pakar hukum, yang berada dalam organisasi profesi (IDAI, POGI, PAPD, ISFI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan cq. Sub Direktorat Imunisasi dan Sub Direktorat Surveilans dan Badan POM. Komnas PP-KIPI bertugas menganalisis informasi hasil telaah kasus KIPI, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh Komda PP-KIPI dan melakukan umpan balik kepada Komda PP-KIPI yang terkait. Komnas PP-KIPI dapat melakukan peninjauan lapangan (pelacakan menggunakan otopsi verbal), serta menjelaskan manfaat, keamanan dan risiko imunisasi pada masyarakat. Komnas PP-KIPI yang bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan cq. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan ini juga mempunyai wewenang memberikan nasehat, saran, dan pendapat ahli kepada pihak-pihak yang memerlukan dalam rangka penjernihan masalah kasus KIPI dan diduga KIPI. Sementara itu, di tingkat propinsi terdapat Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KOMDA PP-KIPI) yang terdiri dari unsur-unsur profesi terkait yang akan bertanggungjawab kepada Gubernur cq. Dinas Kesehatan Propinsi terkait penatalaksanaan analisis KIPI secara teratur dan memberikan umpan balik ke sistem di bawahnya serta masyarakat di daerah tersebut.

Pemantauan kasus KIPI merupakan kerja sama antara Program Imunisasi Departemen Kesehatan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai dua mitra yang bertanggung jawab terhadap keamanan vaksin. Pemantauan kasus KIPI yang efektif melibatkan:
  1. Masyarakat atau petugas kesehatan di lapangan, yang bertugas melaporkan bila ditemukan kasus yang diduga menderita KIPI kepada petugas kesehatan Puskesmas setempat.
  2. Supervisor tingkat Puskesmas (petugas kesehatan/Kepala Puskesmas) dan Kabupaten/Kota melengkapi laporan kronologis kasus diduga KIPI.
  3. Tim KIPI tingkat Kabupaten/kota menilai laporan KIPI dan menginvestigasi KIPI apakah memenuhi kriteria klasifikasi lapangan dan melaporkan kesimpulan investigasi ke Komda PP-KIPI.
  4. Komda PP-KIPI, memeriksa informasi dari hasil telaah kasus KIPI di tingkat propinsi, bertugas melakukan analisis KIPI secara teratur dan melakukan umpan balik ke sistem di bawahnya, bila perlu melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan menggunakan Formulir Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi kepada masyarakat.
  5. Komnas PP-KIPI, memeriksa informasi hasil telaah kasus KIPI yang dikirim oleh Komda PP-KIPI, melakukan analisis KIPI secara teratur, meninjau keseluruhan pola dari laporan dan pelacakan, membuat penilaian kausalitas KIPI pada kasus yang belum dapat disimpulkan oleh Komda, bila perlu melakukan peninjauan lapangan atau pelacakan dengan menggunakan Formulir Investigasi KIPI/otopsi verbal menjelaskan tentang manfaat, keamanan dan risiko imunisasi kepada masyarakat.

Tujuan utama pemantauan kasus KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon kasus KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap program imunisasi. Pemantauan kasus KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus, analisa kejadian, tindak lanjut kasus, pelaporan dan evaluasi. Hal ini merupakan indikator kualitas program. Pemantauan kasus KIPI Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi:
  • Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian, menindaklanjuti kasus, melaporkan dan mengevaluasi kasus.
  • Memperkirakan angka kejadian KIPI (rate KIPI) pada suatu populasi
  • Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch vaksin atau merek vaksin tertentu
  • Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koinsidens atau bukan
  • Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program imunisasi
  • Memberi respons yang cepat dan tepat terhadap perhatian orang tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian (masyarakat dan profesional) tentang adanya risiko imunisasi.

Bagian terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi kasus KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisa untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respons merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI.

Penemuan kasus KIPI merupakan kegiatan penemuan kasus KIPI atau diduga KIPI baik yang dilaporkan orang tua/pasien, masyarakat atau petugas kesehatan. Laporan harus ditanggapi dengan serius dan ditindaklanjuti dimulai dari petugas kesehatan Puskesmas setempat untuk memvalidasi laporan kasus. Laporan kasus harus dibuat secara rinci sesuai formulir laporan kasus KIPI untuk menentukan penyebab kasus.

Tabel kasus KIPI yg harus dilaporkan

Kurun Waktu Terjadi KIPI
Gejala Klinis
Dalam 24 jam
·    Reaksi anafilaktoid (reaksi akut hipersensitif)
·    Syok anafilaktik
·    Menangis keras terus lebih dari 3 jam (persistent inconsolable screaming)
·    Episode hipotonik – hiporesponsif
·    Toxic shock syndrome
Dalam 5 hari
·    Reaksi lokal yang berat
·    Sepsis
·    Abses di tempat suntikan (bakterial/steril)
Dalam 15 hari
·    Kejang, termasuk kejang demam (6 – 12 hari untuk campak/ MMR: 0 – 2 hari)
·    Ensefalopati (6 – 12 hari untuk campak/ MMR: 0 – 2 hari)
Dalam 3 bulan
·    Acute flaccid paralysis = lumpuh layu (4 – 30 hari untuk penerima OPV; 4 – 75 hari untuk kontak)
·    Neuritis brakial (2 – 26 hari sesudah imunisasi tetanus)
·    Trombositopenia (15 – 35 hari sesudah imunisasi campak/MMR)
Antara 1 hingga 12 bulan sesudah imunisasi BCG
·    Limfadenitis
·    Infeksi BCG menyeluruh (disseminated BCG infection)
·    Osteitis/osteomyelitis
Tidak ada batas waktu
Setiap kematian, rawat inap atau kejadian lain yang berat dan kejadian yang tidak biasa, yang dianggap masyarakat ada hubungannya dengan imunisasi

Untuk gejala kasus KIPI dengan reaksi yang ringan seperti reaksi lokal, demam dan gejala-gejala sistemik yang dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan. Jika ada keraguan apakah suatu kasus harus dilaporkan atau tidak, sebaiknya dilaporkan, agar mendapat umpan balik positif bila kasus tersebut memang harus dilaporkan. Petugas kesehatan atau Kepala Puskesmas bertanggung jawab melengkapi formulir pelaporan dengan berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Petugas investigator KIPI Dinas Kesehatan/Kota akan menentukan apakah kasus KIPI termasuk dalam daftar KIPI yang harus dilaporkan, mengirimkan formulir laporan ke tingkat propinsi dan segera melaporkan jika kasus KIPI menjadi perhatian masyarakat atau terjadi kasus KIPI berkelompok. Dokter praktek swasta dan rumah sakit harus melaporkan kasus-kasus KIPI kepada Dinas Kesehatan dan atau Komda KIPI setempat dengan melengkapi formulir pelaporan. Laporan harus dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dibuat secepat mungkin untuk tindakan atau pelacakan.

Tabel 2. Kurun waktu pelaporan berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan
Jenjang Administrasi dan Kurun waktu diterimanya laporan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: 24 jam dari saat penemuan kasus
Dinas Kesehatan Propinsi/Komda PP-KIPI: 24 – 72 jam dari saat penemuan kasus
Sub Direktorat Imunisasi/Komnas PP-KIPI: 24 jam – 7 hari dari saat penemuan kasus

Dalam waktu 24 jam setelah laporan kasus KIPI diterima, suatu penilaian sebaiknya sudah dilakukan untuk menentukan apakah diperlukan pelacakan kasus KIPI tersebut. Kasus tersangka KIPI harus dilacak secepatnya dan mencari informasi kasus selengkap-lengkapnya. Kasus KIPI harus dilacak secepatnya jika:
  • Ada dalam daftar kasus laporan untuk pemantauan KIPI
  • Kasus mungkin disebabkan oleh kesalahan program
  • Kasus berat yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan
  • Menimbulkan perhatian yang serius dari orang tua atau masyarakat.

Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain yang bersangkutan. Pelacak perlu melihat secara langsung terduga KIPI, untuk mengumpulkan informasi dari pasien atau orang tua, petugas kesehatan, kepala Puskesmas setempat dan anggota masyarakat. Apabila kasus yang dilaporkan memang diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin, petugas yang melakukan imunisasi, dan bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan kasus lain yang sama atau berkelompok (cluster), terutama yang mendapat imunisasi pada tempat dan nomor batch vaksin yang sama. Informasi yang dikumpulkan (dan kesimpulan) dicatat pada formulir investigasi KIPI yang telah tersedia.

Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan epidemiologi, dengan memperhatikan kaidah pelacakan vaksin, teknik dan prosedur imunisasi dan melakukan perbaikan berdasarkan temuan yang didapat. Kepala Puskesmas atau Komda PP-KIPI dapat menganalisis data hasil pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan mencoba mencari penyebab KIPI tersebut. Komnas PP-KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 kliasifikasi, yaitu: 1) klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas kesehatan di lapangan dan 2) klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP-KIPI.

Klasifikasi KIPI sesuai dengan manfaatnya di lapangan menurut WHO Western Pacific antara lain:
  1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
  • Dosis antigen (terlalu banyak)
  • Lokasi dan cara menyuntik
  • Sterilisasi semprit dan jarum suntik
  • Jarum bekas pakai
  • Tindakan aseptik dan antiseptik
  • Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
  • Penyimpanan vaksin
  • Pemakaian sisa vaksin
  • Jenis dan jumlah pelarut vaksin
  • Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra, dan lain-lain)
Kecurigaan terjadi kesalahan dalam tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
  2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik secara langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemeraan pada tempat suntikan. Sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual bahkan hingga pingsan karena begitu takut disuntik.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walau demikian, dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis yang berbahaya. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsidens)
Kejadian ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Salah satu faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada populasi setempat dengan kharakteristik serupa padahal tidak mendapat imunisasi.

  5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan keompok penyebab KIPI.

Uji laboratorium kadang-kadang diperlukan untuk dapat memastikan atau menyingkirkan dugaan penyebab seperti: vaksin mungkin diuji sterilitas dan potensi; pelarut untuk pemeriksaan sterilisasi dan komposisi kimia; jarum suntik dan syringe untuk sterilitas. Pemeriksaan uji laboratorium ini untuk menunjang menjelaskan kecurigaan dan bukan sebagai prosedur rutin. Jika sisa vial vaksin masih ada, sebaiknya vaksin ini dikirim bersama dengan vial vaksin yang belum dipakai dengan nomer batch yang sama. Vial vaksin tersebut disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang utuh (perhatikan cold chain).

Tindak lanjut kasus KIPI dengan adanya data kasus, maka dokter puskesmas dapat memberikan pengobatan segera. Apabila kasis tergolong berat harus segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan segera. Komunikasi yang baik terhadap kasus KIPI harus dilakukan dengan baik, tidak berbohong, dengan tetap fokus pada masalah yang berhubungan dengan sistem serta langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Evaluasi rutin dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Propinsi minimal 6 bulan sekali. Evaluasi tahunan dilakukan oleh Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan Propinsi untuk tingkat propinsi dan Komnas PP-KIPI/Sub Direktorat Imunisasi untuk tingkat nasional.

Setelah didapatkan kesimpulan penyebab dari hasil investigasi kasus KIPI maka dilakukan tindak lanjut perbaikan.
Tabel 3. Tindak lanjut setelah investigasi lengkap

Reaksi vaksin
Jika rasio reaksi lebih besar dan yang diharapkan pada vaksin atau batch tertentu dibandingkan dengan data dari pabrik vaksin, dan setelah konsultasi dengan WHO dipertimbangkan untuk
  • Menarik batch tersebut
  • Kemungkinan harus dilakukan perubahan prosedur kualiti kontrol

Kesalahan program
Memperbaiki penyebab dari kesalahan tersebut. Dapat dilakukan dengan
  • Mengatasi masalah logistic dalam penyediaan vaksin
  • Memperbaiki prosedur pada fasilitas kesehatan
  • Pelatihan tenaga kesehatan
  • Pengawasan yang ketat
Apapun tindak lanjut yang akan diambil, penting untuk pemeriksaan selanjutnya bahwa kesalahan program telah diperbaiki

Koinsiden
Tugas utama adalah komunikasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa kejadian tersebut hanya suatu kebetulan. Komunikasi akan menjadi sulit bila sudah ada keyakinan yang tersebar bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh imunisasi.
Kadang-kadang akan sangat bermanfaat untuk melakukan pelacakan lanjutan oleh tenaga ahli untuk meyakinkan bahwa kejadian tersebut benar-benar disebabkan oleh koinsiden (kebetulan).
Potensi kasus KIPI koinsiden (kebetulan) dapat menganggu program imunisasi karena kesalahan persepsi cukup besar.

Tidak diketahui
Tergantung pada masalah kejadian KIPI tersebut, apakah cukup luas atau masih berlangsung, suatu investigasi lanjutan oleh tenaga ahli mungkin diperlukan.
Bagaimanapun, kadang-kadang hubungan beberapa kasus KIPI hubungan dengan imunisasi tidak jelas.

Dikutip dan dimodifikasi dari: Immunization Safety Surveillance: Guideline for manager of Immunization programmes on reporting and investigating AEFI; WHO Regional Office for Western Paccific; Malina, 1999.

Penanggulangan kasus KIPI dilakukan penanganan primer, sekunder dan tersier. Pada penanggulangan primer dilakukan pencegahan dengan persiapan tertentu sebelum dan pada saat pelaksanaan imunisasi agar tidak terjadi kasus KIPI. Persiapan tersebut meliputi persiapan tempat, alat dan obat, fasilitas rujukan, penerima vaksin (resipien), mengenal gejala KIPI, dan prosedur pelayanan imunisasi.



Tabel gejala KIPI dan Tindakan yang harus dilakukan


No. KIPI Gejala Tindakan Keterangan
1. Vaksin
a. Reaksi Lokal Ringan
  1. Nyeri, kemerahan, bengkak di daerah bekas suntikan berukuran < 1 cm
  2. Timbul < 48 jam setelah imunisasi.
  1. Kompres Hangat
  2. Jika nyeri mengganggu dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali pemberian.
    < 6 bulan: 60 mg/kali pemberian
    6 – 12 bulan: 90 mg/kali pemberian
    1 – 3 tahun: 120 mg/kali pemberian
  1. Pengobatan dapat dilakukan oleh orang tua atau guru UKS
  2. Hal ini dapat sembuh sendiri walaupun tanpa obat
b. Reaksi Lokal Berat (Jarang terjadi)
  1. Kemerahan/indurasi > 8 cm
  2. Nyeri, bengkak dan gejala manifestasi sistemik
  1. Kompres Hangat
  2. Parasetamol
Jika tidak ada perubahan hubungi puskesmas setempat
c. Reaksi Arthrus
  1. Nyeri, bengkak, indurasi dan edematerjadi akibat reimunisasi pada pasien dengan kadar antibodi yang masih tinggi (jarak imunisasi terlalu dekat)
  2. Timbul dalam beberapa jam setelah imunisasi, puncaknya 12 – 36 jam setelah imunisasi
  1. Kompres
  2. Parasetamol
  3. Dirujuk dan dirawat di RS
d. Reaksi Umum (gejala sistemik) Demam, lesu, nyeri otot, nyeri kepala dan menggigil
  1. Berikan minum hangat dan selimut
  2. Parasetamol
e. Kolaps/keadaan seperti syok
  1. Episode hipotonik hiporesponsif
  2. Anak tetap sadar tetapi tidak bereaksi terhadap rangsangan
  3. Pada pemeriksaan frekuensi, amplitude nadi serta tekanan darah dalam batas normal
  1. Rangsang dengan wangian atau bauan yang merangsang
  2. Bila belum dapat diatasi dalam waktu 30 menit segera rujuk ke puskesmas terdekat
f. Reaksi Khusus
1. Sindrom Guillain-Barre (jarang terjadi)
  1. Lumpuh layu, simetris, asendens (menjalar ke atas) biasanya tungkai bawah
  2. Ataksia
  3. Penurunan refleksi tendon
  4. Gangguan Menelan
  5. Gangguan Pernapasan
  6. Parasthesia
  7. Meningismus
  8. Tidak demam
  9. Peningkatan protein dalam cairan serebrospinal tanpa pleositosis
  10. Terjadi antara 5 hari sampai dengan 6 minggu setelah imunisasi
  11. Perjalanan penyakit dari 3-4 hari
  12. Prognosis pemulihan umumnya baik
Rujuk segera ke RS untuk perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut Perlu untuk penyelidikan AFP
2.Neuritis brakial (neuropati pleksus brakialis)
  1. Nyeri di dalam terus-menerus pada daerah bahu dan lengan atas
  2. Terjadi 7 jam sampai dengan 3 minggu pasca imunisasi
  1. Parasetamol
  2. Bila gejala menetap rujuk ke RS untuk fisioterapi
3.Syok anafilaksis
  1. Terjadi mendadak
  2. Gejala klasik: kemerahan merata, edema
  3. Urtikaria, sembab pada kelopak mata, sesak, nafas berbunyi
  1. Suntikan adrenalin 1:1.000 dosis 1 – 0,3 mL subkutan/intramuskuler
  2. Jika pasien telah membaik dan stabil, dilanjutkan dengan suntikan deksametason (1 ampul) secara intravena/intramuskuler
4.Gejala Lain
  1. Jantung berdebar kencang
  2. Tekanan darah menurun
  3. Anak pingsan/tidak sadar
  4. Dapat pula terjadi langsung berupa tekanan darah menurun dan pingsan tanpa didahului oleh gejala lain
  1. Segera pasang infus NaCl 0,9%
  2. Rujuk ke RS terdekat
Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor JP/Menkes/092/11/2012 tanggal 22 Februari 2012 tentang Pembiayaan kasus KIPI maka pembiayaan KIPI mulai tahun 2012 dijamin oleh Pemerintah melalui program Jamkesmas dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penerima manfaat pembiayaan KIPI meliputi peserta Jamkesmas dan non-Jamkesmas.
2. Bagi penderita KIPI yang merupakan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu Jamkesmas.
3. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan memperlihatkan kartu identitas (KTP, Kartu Keluarga dan lain-lain).
4. Penderita KIPI yang berobat ke PPK Lanjutan berhak mendapatkan surak keabsahan peserta (SKP) yang diterbitkan oleh PT Askes.
5. Prosedur pelayanan dan mekanisme pembayaran pelayanan KIPI mengacu kepada ketentuan dalam Jamkesmas.
6. Bagi penderita KIPI yang bukan peserta Jamkesmas hanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kasus KIPI tersebut. Untuk kasus atau penyakit lainnya tidak menjadi beban pembiayaan Jamkesmas.

Sumber: 
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%201626%20ttg%20Pedoman%20Pemantauan%20Dan%20Penanggulangan%20Kejadian%20Ikutan%20Pasca%20Imunisasi%20(KIPI).pdf

http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=340:surat-edaran-menteri-kesehatan-tentang-qpembiayaan-kasus-kipiq&catid=55:berita-pusat&Itemid=101